honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Senin, 06 Desember 2010

MENIKAH... WAH!!!!!


Ketika pertama kali suami melamar, saya serasa di ujung nirwana. Bagi wanita seperti saya tak ada kata sesempurna pernikahan, padahal bayangannya dalam benak saya hanya serupa lukisan abstrak seorang pelukis amatir. Namun, kita senantiasa penasaran dengan sesuatu yang baru, bukan?
hari ketika kami  mengucap janji setia sehidup semati, dalam pikiran saya masih belum tersketsa jelas bagaimana sesungguhnya kehidupan kami setelah pernikahan kami. Benak saya masih dipenuhi pikiran-pikiran tentang hal-hal sepeleh, yang sampai sekarang masih membuat saya mendengus bila mengingatnya. Hal-hal seperti – semoga suami saya tidak tertawa membaca ini. Saya tidak berani  menduga apa komentarnya jika dia tahu apa isi pikiran saya di hari pertama pernikahan.—betapa tampannya lelaki yang baru saja mengikrarkan janjinya membahagiakan saya seumur hidupnya kepada Ayah saya. Betapa sempurna setiap lekukan tubuhnya, setiap garis siluet sosoknya. Masya Allah, betapa Tuhan telah amat sangat baik hati – sekaligus mungkin sedikit ‘mengejek’ saya—dengan mengirim manusia amat sangat sempurna itu untuk menikahi saya pada hari itu.
Ketika duduk bersanding di pelaminan sederhana di hari itu, mataku seakan tak lelah memandangnya, dengan diam-diam tentu saja. Kemudian, angan-angan itu memasuki bagian otak kiri saya. Ah, jangan buat saya terlihat sangat konyol dengan mengakui hal ini. Namun, tak apalah saya mengakuinya. Toh, saya juga memang mengalaminya. Dan bagi saya itu sangat manusiawi. Saya membayangkan ‘malam pertama ‘ kami. Saya tidak ingin terlihat begitu  polos dengan menulis kalau selama pacaran, saya tidak pernah bercumbu dengan suami, namun tanpa bisa saya  cegah, angan-angan indah penuh gelora gairah itu membayang di pelupuk mata. Sayang, maafkan istrimu ini………^_^
Sampailah kita di bagian paling ujung dari fantasi saya saat pernikahan hanya serupa prediksi. Malam pertama kami berlangsung sangat ‘sepi’. Tidak banyak bicara, tidak banyak bertanya, namun setiap gerakan, setiap perbuatan, meninggalkan sejuta kesan yang bahkan sampai sekarang belum bisa saya lupakan. Pertama kali dia mengucap ikrar akan mencintai jiwa dan raga saya, saat dia mengatakan bahwa dia telah menikahi bukan hanya tubuh saya, namun semua sifat baik dan buruk saya secara keseluruhan,saat itu saya tak sanggup menahan bergulirnya air mata saya. Saya begitu bahagia, hingga tanpa sadar, saya telah menyerahkan seluruh cinta saya, seluruhnya sebagai miliknya yang sah. Tak terganjal dosa, tak terbayangi perasaan takut. Yang ada hanya cinta… hanya cinta saja…… belakangan, saya menyesali bahwa kesan yang sama tak lagi bermakna dalam kehidupan intim kami..
Berakhirlah mimpi Sang Putri ……………..
Kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai. Saya tahu, kalau sejak saat itu saya tak hanya  hidup untuk diri saya sendiri lagi. Saya punya suami, yang mau tak mau harus saya urus. Saya harus mulai memikirkan apa yang akan saya masak  untuk makan siangnya. Biar saya beritahu satu rahasia. Semandiri apapun seorang laki-laki ketika dia bujang, dia menjelma jadi manusia paling manja setelah menikah. Dan semanja apapun seorang wanita ketika masih gadis, mau tak mau dia harus jadi serba mandiri, mengatur ini dan itu, ketika statusnya berubah  menjadi  ibu rumah tangga. Ah… betapa tidak adilnya….. Namun, wanita harus senantiasa terbiasa dengan segala macam ketidakadilan, bukan?
Hari-hari setelahnya, merupakan bab baru dalam kehidupan kami. Saya berusaha untuk menjadi istri yang baik. Bangun jauh lebih awal dari suami, bahkan jauh lebih awal dari ketika saya masih gadis. Menyiapkan sarapan, secangkir teh dan sepiring nasi goreng, atau sepiring nasi mengepul dengan lauk ikan goreng. Tak lupa secobek sambal. Mmm… lantas mengiringi kepergiannya bekerja dengan lambaian tangan dan sekulum penuh senyum terindahku..
Siangnya, dengan berdebar saya menantikannya pulang. Sajian makan siang sudah menunggu di meja makan. Tak lama, deru mesin sepeda motornya terdengar memasuki  halaman rumah kontrakan kami yang mungil.  Dengan senyum indah yang sama saya menyambutnya melangkahi pintu depan. Kemudian, dengan obrolan ringan tentang apa saja kegiatannya hari itu di sekolah( suami saya seorang guru SMA), saya mengikutinya ke dalam kamar, menontonnya mengganti baju. Tak lama sesudahnya, dengan mulut yang tak berhenti mengoceh tentang beberapa hal, mulai dari rekan kerja yang terlalu cerewet, hingga beberapa murid yang membuatnya sangat kesal hingga dihukumnya, dia melangkah menuju kamar mandi, membasuh muka serta kedua tangannya. Setelah rutinitas itu, dia melangkah ke ruang makan, dimana sajian menggoda itu telah menunggunya.
Kemudian, tudung saji dibuka. Dengan sangat antusias dia menyendok nasi ke piringnya. Masih dengan cerita yang meluncur deras, dia mulai menyuap. Inilah bagian favorit saya, ketika melihat ekspresinya ketika mengunyah, membuat saya merasa menjadi koki terhebat di dunia. Jika ditanya, apa salah satu hal terbaik dari suami saya, saya akan menjawab, dia akan memakan apapun yang saya masak. Plus, ekspresi kepuasan yang sangat nyata.
Malamnya, setelah selesai menunaikan shalat isa, kamipun bercengkrama sembari menonton tayangan televise. Saya kemudian menceritakan kegiatan saya hari itu. Diselingi tawa dan canda segar, kami mulai menghayalkan betapa indahnya kehidupan yang akan kami jalani setelah kehidupan kami dipenuhi tangis seorang bayi. Wah, sepertinya akan indah sekali….
Beberapa  bulan setelahnya, saya menyadari kehidupan tak seindah kisah klasik dalam dongeng. Ada beberapa hal yang lambat saya insyafi. Namun, ada banyak penyadaran akan segala yang terjadi. Bukan sekedar pembanaran, namun bisa dianggap sebagai pencerahan bahwa tidak ada hal yang terjadi dengan sia-sia. Ada banyak makna dalam setiap celah kehidupan,  dan yang pasti, makna yang banyak itu tidak sepenuhnya bisa  kita pahami semuanya.
Begitu pula dengan saya, saya merasa belum siap menghadapi perubahan yang terjadi. Dan terus terang saja, saya tidak begitu menyukai perubahan. Saya kegok menghadapai bahwa dunia tidak lagi berputar dengan saya sebagai porosnya, seperti yang selama ini saya rasakan. Keputusan tidak lagi tentang saya, namun cenderung meminggirkan saya, menjadikan saya sebagai objek, bukan lagi subjek, seperti yang selama ini terjadi.
Saya tidak siap menghadapi kenyataan saya tidak lagi langsing, karena di tubuh saya saat itu tumbuh janin buah cinta kami. Saya tidak bisa menerima bahwa suami tidak menganggap saya seksi lagi, dengan postur tubuh bola berkaki tangan itu. Namun, lebih menganggap saya lucu. Belum lagi, perut yang kian membesar membuat saya sulit melakukan kegiatan yang paling mudah sekalipun. Oh Tuhan,,,,!!!!
Belum lagi, ketika beberapa bulan setelahnya, tangis bayi memecah kesunyian siang hari yang panas. Ya, tepat jam setengah dua siang, putra pertama kami lahir ke dunia. Sungguh, pengalaman yang luar biasa bagi saya, ketika melihat bayi kecil yang tengah meronta itu dulunya hidup di dalam perut saya. Betapa kecilnya, betapa sucinya. Di samping saya, suami saya tak hentinya melapazkan hamdalah, menggulirkan rasa syukur akan kebaikan Tuhan kepada kami.
Bulan-bulan pertama merupakan anugarah dan ujian lain bagi kami. Sekali lagi saya menyadari, bahwa saya belum cukup siap secara mental untuk menjadi seorang ibu. Tangis bayi yang tiba-tiba terdengar pada saat saya tengah enak-enaknya terlelap, kewajiban menyusui yang mengharuskan saya makan dengan porsi jumbo, yang tentunya membuat tubuh saya kian subur, adalah sekelumit hal yang harus saya terima tanpa dapat berkomrntar apa-apa.
Namun, bukankah  wanita yang baik adalah wanita yang “nrimo”? saya mencoba menjadi wanita yang pasrah, walaupun ego seringkali menggelitik emosi, memercikkan api kecil dalam sekam masalah saya dengan suami. Dan, mahluk yang diciptakan Tuhan dengan title ‘laki-laki’ itu, tidak didisain untuk menghadapi perubahan. Mereka tetap dengan ketetapannya  bahwa mereka adalah penentu segala hal, meminggirkan kenyataan bahwa mereka bisa berdiri tegak juga karena bantuan wanita, istri mereka, yang seringkali mereka remehkan. Namun, saya hanya bisa ‘menentang’nya hanya lewat tulisan ini,,

Apapun yang telah terjadi dalam kehidupan saya, saya menganggapnya sebagai sebuah pelajaran berharga. Saya yakin, Tuhan punya rencana seru buat kehidupan saya, yang saya yakin akan dihiasNya bukan hanya dengan senyum tawa saja, akan tetapi disertai pula dengan derai air mata yang merupakan tebusan dari kebahagiaan yang pastinya akan lebih membuat saya menyadari betapa saya tak lebih dari hambaNya yang tak berdaya.


                                                         T        A        M        A         T
                            




4 komentar:

  1. Tetap semangat mb...
    semoga menjadi keluarga yang bahagia.

    BalasHapus
  2. makasih mas,,, (hehehe... bahasanya kak... mangnya aku mba'mba' ya????)

    BalasHapus
  3. haha...

    Yang jelas, Tulisannya bagus dik, kayaknya ada bakat menjadi seorang penulis terkenal.

    BalasHapus
  4. masa siih...???? alhamdulillah,,ada juga yang muji.. selama ini nggak ada yang muji aku

    BalasHapus