honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Minggu, 12 Desember 2010

5 CINTA


“ Aku punya lima,” tandasku di tengah protesnya. “ Kalau kamu maksa, mendingan nanya ke orang yang lain aja deh.”
                “ Jangan gitu dong, Fan. Aku tahunya Cuma kamu yang punya pengalaman cinta yang unik,” ujarnya masih mencoba merayuku. Aku tersenyum kecil dan bersyukur dia tidak bisa melihat senyumku, karena aku tahu dia pasti akan merasa menang melihat aku melunak.
                “ Lha, kamu nanya pengalaman cinta aku kan? Tapi, kenapa malah kamu yang ngatur?” kataku dengan nada yang sama judesnya dengan yang tadi, namun dengan perasaan geli. Aini sahabatku, selalu saja mempunyai ide gila yang bisa menbuat siapa saja mendengus. Seperti saat ini misalnya. Dia berkata ingin membuat sebuah cerita pendek yang katanya—masih katanya—akan dikirimkannya ke sebuah rumah produksi dan akan dijadikan  storyboard sebuah film layar lebar. Dan anehnya, dia bertanya kepadaku tentang pengalaman cintaku. Ketika aku tanya kenapa aku, dia menjawab kalau dia merasa pengalaman cintaku unik dan berkesan.
                “ Ya, tapi kalau judul filmnya ‘Lima Cinta’ kan nggak asik. Kesannya maruk gitu. Lain kalau cintanya Cuma empat. Kayaknya lebih elegan, lebih ..”
                “ Lebih apa?” potongku dengan cengiran di bibir yang semakin melabar. “ Aku punya lima pengalaman cinta, tapi kamu malah mengahruskan Cuma empat. Itu tandanya kamu ingin mengintervensi pengalaman yang harusnya punya aku pribadi. Ini sama saja dengan penghinaan,” lanjutku pura-pura merajuk.
                “ Ya elaah Neng, ketinggian lu ngomongnya. Ya udah, terserah Mpuh aja dah!” ujarnya ngakak. Aku ikut-ikutan ngakak. Lantas sejurus kemudian cerocosannya kembali terdengar dari corong telepon.
                “ Ya udah, mau empat kek, lima kek, sepuluh kek, aku tetap akan nulis tentang perjalanan cinta kamu. dan aku harap kamu mau membantu aku dengan menceritakannya kembali.”
                “ Buat apa? Kamu kan tahu semua tentang itu?”
                “ Ya, tapi aku mau dengar lagi. Ini akan membantu aku menggambarkan ekpresi dan emosi tokoh kamu nanti di cerpen.”
                “ Gimana caranya? Orang kita ngerumpinya lewat telepon gini?” 
                “ Ya, nggak apa-apa kali,” katanya. Aku memilih tidak mendebatnya.
                “ Here we go.. tunggu, aku ambil block note dulu ya?” katanya. Aku mengangguk dan tersenyum sendiri setelah menyadari kalau dia tidak akan pernah melihat anggukanku…

STORY 1 : TOPAN  a.k.a CINTA PERTAMA
                Orangnya biasa. Posturnya biasa. Tapi ada satu hal yang membuatku tertarik. Senyumnya. Kalau tersenyum dia maniss sekali. dan seketika, hatiku bukan milikku lagi.
Dia anggota senior Ekskul Sains di sekolahku saat itu. Dia sangat pintar dan sangat terkenal di sekolah. Banyak teman yang juga suka sama dia. Tapi, aku hanya terdiam ketika berhadapan dengannya. Karena dia juga terdiam ketika berhadapan denganku.
Ya, tampangnya biasa. Namun, dia membawa dampak yang tidak biasa ke hatiku.
Beberapa bulan kemudian, aku masih bergelut dengan kekagumanku yang hanya satu arah kepadanya seorang diri, meskipun kami satu kelab sains, dan dia duduk hanya dua bangku didepanku. Memastikan aku selalu bisa melihatnya dari belakang secara sembunyi-sembunyi, dan semakin menegaskan kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Ya, jatuh cinta untuk pertama kalinya ke seorang cowok.
Namun, dia tak pernah tahu. Bahkan hingga saat terakhir…
Disini terdengar suara Aini..
                “ Kenapa kamu nggak bilang aja sama dia?” tanyanya dengan nada gemas yang biasa, ketika dia merasa kurang puas dengan sesuatu dia akan bersikap menjengkelkan seperti ini, menyela pembicaraan.
                “ Mau diterusin nggak nih ceritanya?”jawabku kaku.
                “ Ya deh..”
Dia tidak pernah tahu, karena aku tidak pernah menunjukkan bahwa sebenarnya aku menyukainya. Aku selalu mencoba bersikap biasa dan menjaga jarak. Itu kulakukan untuk menjaga hati dan ekspresi. Karena aku tahu, kalau aku membiarkan diriku terlalu dekat dengannya, maka bisa dipastikan bahwa perasaanku yang sebenarnya akan terungkap secara gamblang, dan aku tidak suka itu. Aku mungkin orang yang sedikit kolot dalam hal mengungkapkan perasaan, sebaiknya cowoklah yang bersikap lebih dulu, dan sebagai cewek mestinya menjaga diri supaya perasaannya tidak terlalu mudah ditebak. Bahasa kerennya sih jaim gitu.
Hingga suatu hari,
Dia tergopoh-gopoh mendekatiku. Dan akupun tergopoh-gopoh menata hati yang tiba-tiba berdegub tak terkendali.  Dia menatap tepat di kedua mataku dengan sorot tatap yang setajam  ujung tombak, dan hatiku luruh dalam suka yang menggila, hingga membuatku lupa akan semuanya, bahkan untuk bernafas sekalipun. Dan ketika akhirnya aku tercekik pengapnya paru-paru yang hampa oksigen, otakku menjerit memerintahkanku untuk menghirup udara dan pikiran sehatpun akhirnya kembali menguasai otakku yang seperti terkontaminasi virus gagu karena cinta. Aku menata  ekspresi wajahku yang kutahu berantakan karena kehadirannya yang tiba-tiba. Dan dengan pandangan wajar aku balas memandangnya.
Dia masih menatapku dengan pandangan setajam sebelumnya. Aku mulai bertanya-tanya apa yang telah merasukinya hingga dia melakukan itu, karena selama satu tahun kebersamaan kami yang pasif, dia tidak pernah melakukan sesuatu lebih dari sewajar garis yang telah kutarik antara aku dengannya. Dan hari ini, dengan tiba-tiba dia berada sedekat ini denganku. Untung saja aku tadi tidak sampai terkena serangan jantung.
Dia masih dirundung diam yang tak bisa kuduga kapan akan berakhir. Pandangan matanya memang sudah tidak setajam sebelumnya, malah saat ini ada segurat sendu yang memayungi matanya yang agak sipit itu. Akhirnya setelah beberapa menit yang bagiku serasa berabad, dia mengalihkan pandangannya dariku dan memilih memandang rerumputan.
Aku ikut memandang rumput. Perasaan aneh menggelayuti hatiku. Seharusnya aku senang dia berada sedekat ini denganku, sesuatu hal yang sudah dipastikan tidak akan sering terjadi. Namun, aku merasa ada yang tidak seharusnya terjadi. Aku telah terbiasa melihatnya dari kejauhan, mengaguminya dalam hati, dan memilih manghabiskan kerinduan pada  malam-malam yang panjang dalam polosnya perasaan cinta pertama yang tak terbahasakan kata-kata. Aku telah begitu bahagia dengan itu semua, hingga merasa tak perlu mandapatinya duduk sebangku denganku. Membuat perasaan tulusku selama ini terasa memerlukan pamrih, yang tak kukehendaki dari semula.perlahan dia meraih tanganku dan menyurukkan sesuatu kedalamnya. Aku tertegun, dan dia kembali membisu..
Aku memilih bangkit dan maninggalkannya . Dan aku tidak membutuhkan tangannya yang mencegahku meninggalkannya, atau dorongannya yang ingin mengenyahkanku menjauh darinya. Aku Cuma menginginkan keadaan dimana aku bisa melihatnya tanpa merasa bersalah dan terbebani, keadaan dimana aku bisa memujanya tanpa tersiksa rasa rindu dan cemburu. Dia adalah mahklukNya yang memiliki segala hal  yang bisa membuatku mencintainya, dan aku tidak ingin mendapati satu saja hal kecil yang mungkin bisa membuatku merasakan perasaan sebaliknya. Lebih baik seperti ini…
Sembari berjalan, aku membuka tanganku dan melihat sesuatu didalamnya. Secari kertas bertuliskan sesuatu. Kata-kata yang membuat jantung seketika berhenti berdetak. Kata-kata yang hingga sekarang masih membuatku sulit bernafas.
                                                8ku 1uk8 k87u,k87u j3l3k
Aku berjalan dengan mantap, tanpa pernah menoleh……….
“ SEGITU aja?” tanya Aini sendu.
                “ Ya,” jawabku sembari menghapus setitik lagi air mata yang menetes nakal di mataku.
                “ Kelas berapa kamu saat itu?”
                “ 1 SMP, seminggu sebelum perpisahan.”
                “ Ya ampun, terus kamu nggak ketemu sama dia lagi?”
                “ Nggak, dia melanjutkan sekolahnya di kota lain, itu adalah pertemuan terakhirku dengannya,” jawabku perih.
                Sembari menceritakannya kembali, terbetik sebuah tanya dalam benakku. Seandainya saat itu aku urung pergi dan berbalik menghadapnya, mengucapkan kata-kata yang dituliskannya buatku, mengatakan kalau betapa aku sudah lama memimpikan hal itu, apakah segalanya akan berubah??
Dan aku tak punya jawabannya…
STORY 2 :  IQBAL a.k.a PACAR PERTAMA

Tak diragukan lagi, ketika bertemu dengannya untuk pertama kali, aku sudah menganggapnya musuh bebuyutanku. Dia menjengkelkan, selalau ingin tahu, dan mengurusi hal-hal yang sebenarnya bukan urusannya. Namanya Muhammad Iqbal, dan bagiku dia adalah setan kecil tak berotak yang setiap harinya akan terasa hambar jika dilewatkannya tanpa ada yang bisa dibuatnya kesal. Dan parahnya lagi, aku adalah target favoritnya, seolah dibadanku ini telah ditempeli magnet besar yang bisa menariknya untuk selalu membuntutiku kemana saja. Dan pada mulanya, aku bahkan sempat merasa kalau hidupku ini telah dikutuk oleh yang Maha Kuasa dengan adanya dia dalam hari-hariku di sekolah.
Entah, apa tepatnya yang dilakukannya yang bisa membuatku kesal. Sepertinya tingkahnya wajar saja, jika aku memikirkannya dengan pengandaian bahwa aku adalah orang lain diluar diriku. Dia tak lebih dari seorang anak remaja yang melakukan hal-hal atraktif yang dilakukannya tak lebih untuk menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Namun  tetap saja, sewajar apapun tingkahnya, aku tetap merasa kesal bahkan cenderung terobsesi membencinya.
                “ Hati-hati,” kata Shanti, sahabatku, ketika suatu hari aku menceritakan tentang betapa bencinya aku kepada anak badung itu. “ Jangan sampai terlalu benci, karena biasanya benci yang seperti itu bisa berubah menjadi cinta.”
Aku memikirkan kata-kata Shanti selama beberapa hari berikutnya. Iqbal cukup menarik, dan kadang-kadang, dia bisa jadi sangat keren, ketika ‘penyakit’nya tidak kambuh. Namun, bayangan bahwa aku bisa jatuh cinta padanya terlalu menggelikan, karena tidak akan pernah terjadi.
Hingga pada suatu hari,
Aku tengah menunggu angkot yang biasanya mengantarkanku pulang ke rumah. Namun hingga jam setengah tiga siang, angkot yang ditunggu tak kunjung datang. Aku sudah capek, lapar dan mengantuk. Kemudian, aku mendengar seruan memanggil namaku. Dan aku menoleh melihat si pemanggil dan melihat Iqbal, bertengger santai diatas motor sportnya yang keren. Aku mencoba mengacuhkannya, karena aku  aku tahu dia hanya akan mencari masalah dan akhirnya membuatku kesal. Namun, dia malah mendekatiku dengan motornya dan menjulurkan helm. Aku menerima helmnya dengan bingung.
                “ Naik,” katanya pendek. Aku melotot memandanginya.
                “ Gag mau!!” jawabku kecut. Dia menarik kembali helm yang sebelumnya ku pegang. Sembari menarik nafas, dia akhirnya ikut duduk di bangku yang kududuki.
                “ Kenapa sih, kamu selalu jutek sama aku?” tanyanya. Aku membuang muka. Siapa suruh kamu jadi super nyebelin! Jawabku dalam hati.
                “ sebenarnya kamu itu cantik loh, kalau aja kamu nggak suka marah-marah begitu,” dia masih saja nyerocos. Aku masih enggan menanggapi kata-katanya. Nggak mood bertengkar jika perut sedang kukuruyuk begini.
                “ Sebenarnya, dia nggak pantas kamu sukai.”
Kalimat terakhirnya berhasil mengusikku. Aku tidak tahu apa maksudnya, namun aku punya perasaan aneh, kalau dia tahu sesuatu yang selama ini kurahasiakan kepada siapapun. aku menoleh menatapnya.
                “ Kamu ngomong apaan sih? Jangan macam-macam denganku Iq, aku lagi nggak nafsu marah-marah nih!” ujarku ketus. Dia tersenyum kecut.
                “ Topan, iya kan?” katanya. Aku trekejut, hingga dapat kupastikan, aku pasti pucat pasi.
                “ A..apa?” aku mencoba bersuara, namun terdengar gagap. Dia tersenyum semakin lebar dan menjengkelkan.
                “ Aku tahu, kamu menyukainya.  Kamu sering memandanginya diam-diam.”
                “ Kamu udah sinting ya?” aku menemukan kembali suaraku.
                “ Jadilah pacarku Fan,” katanya sekonyong-konyong. Aku terkejut lebih dari sebelumnya.
                “ A..apa?”
                “ Berpacaranlah denganku, aku tidak lebih buruk dari Topan kan?”
                “ Kamu benar-benar sudah sinting,” aku menggeleng-gelengkan kepala.
                “ Mungkin, tapi aku serius.”
                “ Mana mungkin kamu bicara seperti itu? Selama ini kamu selelu mengganggu aku, selalu bikin aku kesal.”
                “ Kalau saja kamu sedikit peka. Aku mencoba menarik perhatianmu,” ujarnya seraya menatap lurus ke mataku. Dan ketika menatap kedua matanya, ada detak-detak aneh memenuhi dadaku saat itu, serasa ada tangan besi meremas jantungku pelan, memaksanya memompa lebih banyak darah, membuatku sulit bernafas. Aku tidak pernah benar-benar memperhatikannya selama ini. Aku tak pernah tahu, kalau dia punya sebuah tahi lalat di bibir bagian bawahnya, atau alisnya begitu tebal memayungin kedua matanya. Selama ini keindahan itu tertutupi senyum sinisnya, atau tingkah nyelenehnya. Hah!! Ada apa aku ini? Kenapa malah berpikir yang tidak-tidak?!
                “ Jadilah pacarku, Fan,” lanjutnya sembari menggenggam tanganku. Dan aku tak pernah berusaha menarik tanganku dari genggamannya…

                “ OH, jangan bilang kamu menerimanya,” ujar Aini tak percaya.
                “ Aku tidak pernah bilang menerima dia, namun esoknya seantero sekolah tahu kalau aku jadian sama dia. Dan aku nggak pernah menyanggah gosip tersebut. Lagian, pacaran itu seru juga,” kataku, geli mengingatnya kembali.
                Ada kilasan-kilasan kejadian, tangan yang tak henti bergandengan, hujan yang turun deras, seorang anak laki-laki remaja yang selalu berada di sampingku. Kejadian-kejadian yang telah kabur, namun masih meninggalkan degub konyol di dadaku.
                “ Jadi kamu pacaran sama dia? Bagaimana dengan Topan?” tanya Aini lagi.
                “ Dia masih sebaik sebelumnya. Tak ada yang berubah,” aku mengataknnya dengan sedikit perasaan kecewa. Topan memang tak pernah berubah ketika tahu aku dan Iqbal jadian. Dia tetap baik, tetap senyum, tak tergores sedikitpun perasaan marah di wajahnya. Aku jadi sadar kalau dia memang tidak pernah punya perasaan kepadaku.
                “ Kamu pernah bilang kalau kamu putus dari Iqbal karena kamu ketemu sama seorang cowok dan jatuh cinta sama dia?” lanjut Aini.
                “ Cowok itu adalah cintaku yang berikutnya. .”


               


STORY 3 : AAL a.k.a  CINTA MATI

WAKTU itu bulan maret.
Musim hujan sedang memuncak, gerimis serasa betah berlama-lama menyambangi langit. Dan juga hatiku.
Aku sedang senang-senangnya melihat seorang cowok yang menurutku lucu. Namanya Aal, atau begitulah dia disapa teman-temannya. Cowok ini tidak begitu tinggi, dengan rambut belah tengahnya yang menjuntai alami membingkai wajah karismatiknya. Dia sangat populer disekolah baruku itu, karena prestasi dan juga sikapnya yang ramah yang membuatnya memiliki banyak sekali teman. Semua orang mengaguminya. Tak terkecuali aku.
Seolah semuanya terulang. Ada seorang cowok yang cukup populer di sekolah, dan sekali lagi aku merasakan perasaan tertarik yang menggila kepadanya. Namun, kali ini aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Menyimpan sendiri perasaanku.
Aku gencar mengadakan pendekatan. Aku sering lewat depan kelasnya sekedar ber-hai ria dengannya. Untungnya, dia mengenaliku karena saat itu aku dengannya bergabung dalam ekskul yang sama yaitu klub Sains. Aku sering menyambanginya di perpus, tempat favoritnya ketika istirahat tiba. Dan dia cukup ramah menanggapi betapa seringnya kami secara ‘kebetulan’ bertemu.
Namun, sebuah gosip menghancurkan hatiku. Di kalangan anak-anak kelas satu, beredar kabar kalau Aal tengah pacaran dengan Dewi, cewek paling cantik di kelas satu. Dan tentu saja, kabar tersebut benar-benar memukul jatuh kepercayaan diri yang selama ini begitu tinggi. Aku jadi tidak semangat lagi mengejarnya, bahkan ketika Emil, sahabat baruku di SMA menangkap kabar bahwa ternyata mereka tidak jadian. Aku jadi illfeel alias ilang feeling terhadapnya.
Namun suatu hari, sesuatu terjadi…    
Dia melewati gerbang sekolah. Kulihat laju motornya menjadi sedikit pelan ketika melewati genangan air hujan di tepi parkiran. Setelah memarkir motornya, kulihat dia membuka helm yang menutupi kepalanya.
                Tampak seperti gerakan lambat di film-film romantis, ketika tokoh utama bertemu dengan pasangan mainnya untuk pertama kali, aku melihat wajahnya terbuka perlahan. Wajahnya yang  sempurna, dengan garis-garis keteguhan yang menghiasnya, kembali membuat dadaku berdegub tak karuan. Sakit sekali. Namun, seperti yang sudah-sudah, aku memilih bertahan  dan terus mengawasi setiap gerakan yang dibuatnya.
                Samar-samar aku seperti bisa mendengar musik merdu, sejenis musik yang akan kau dengar menjadi soundtrack film-film romantis atau sinetron percintaan. Aku seolah bisa melihat mentari bersinar terang dan angin berhembus sepoi, sesaat melupakan hujan yang semakin menderas. Dan sekali lagi, halusinasiku menang. Aku melihat sepasang merpati seputih salju terbang rendah, menjadi latar spektakuler akan keberadaannya. Fantastik.
                Kemudian, dia melihatku..
                Aku merasakan wajahku pias, darah berdesir meninggalkannya. Musik berhenti, mentari padam, angin berhenti berhembus, dan merpati-merpatinya hilang, seolah telah benar-benar terbang pergi. Aku hanya sendiri, mengahdapi wajahnya yang keheranan, menyadari aku telah mengawasinya selama ini. Aku mencoba tersenyum, namun gagal. Aku menduga, tampangku tak lebih baik dari seekor babon yang tengah sekit perut.


                “ KAYAKNYA ceritanya biasa aja,” kata Aini dengan suara tak bersemangat.
                “ Memang,” kataku.
                “ Terus, kamu sama dia jadian kan? Nggak bertepuk sebelah kaki lagi kan?” tanyanya.
                “ Ya iyalah.. hari itu kami jadian,” kataku.
                “ Siapa yang nembak siapa?” kejarnya.
                “ Lu kata perang, tembak-tembakkan?”
                “ Serius!”
                “ Nggak penting lah, siapa yang nembak, yang penting hari itu kami jadian,” jawabku mengelak.
                “ Lalu dimana spesialnya? Kalau roman picisan kayak gini mah sudah banyak di muat dimana-mana non,” katanya lagi.
                “ Kamu belum dengar semua sih,” gerutuku.

Beberapa bulan setelahnya,
Hidup bagai di surga buatku. hari-hariku penuh dengan keceriaan bunga-bunga yang bermekaran.  Semua hal terlihat bernuansa merah muda, merona sesegar hatiku. Aku begitu bahagia, dan kayaknya kisah cintaku kali ini akan menjadi cinta paling spesial selamanya. Begitu polosnya aku berpikir kala itu. Aku tidak menyangka kalau tantangan sebenarnya terjadi tepat dua bulan setelahnya..
                “ Aku ingin kamu datang ke rumah,” kataku suatu  hari. Senyum sedikit memudar di wajahnya.
                “ Eh, memangnya ada apa?” tanyanya.
                “ Ya, nggak ada apa-apa sih.. aku ingin ngenalin kamu sama Mama sama Bapak,” kataku.
                Dia kelihatan gelisah sekali. “ Eh, Fan, jangan tersinggung ya, tapi kan semua orang yahu kalau Bapak kamu itu..eh..sadis,” katanya pelan. Mau tak mau aku tersenyum mendengar kata-katanya.
                “ Nggak apa-apa kok, semua teman-teman cowokku bebas kok datang main ke rumah. Bapak nggak pernah sampai memenggal kepala mereka,” godaku.
                “ Aku kan bukan teman kamu, aku kan lebih dari teman..” dia masih ragu-ragu.
                “ Ayolah Aal, demi aku?” aku mencoba tetap membujuknya. Dia menatapku dan sejurus kemudian tersenyum.
                “ Eh, itu tuh apaan sih?” tanyanya sembari menunjuk sesuatu di belakangku.
Aku menoleh memandang ke arah tersebut dan tidak melihat apa-apa. Tanpa disangka-sangka, aku merasakan bibirnya menyentuh pipi sebelah kananku. Aku membeku karena kaget. Ya Tuhan, ciuman pertama ternyata tak terbayangkan. Biarpun Cuma di pipi………
Malamnya………….
Deru motor memasuki halaman, dan aku langsung deg-degan. Aku tahu, kalau Aal lebih deg-degan lagi. Tak lama kemudian, terdengar seseorang mengetuk pintu sembari mengucapkan salam.
“ Assalamualaikum..”
Aku mendengar mamaku membalas salam dan membuka pintu.
“ Ya?” terdengar mamaku berucap.
“ Selamat malam,Tante. Fany-nya ada?” suara tenor yang sangat kupuja terdengar.
“ Ada, mari masuk..” undang mama.
Aku mendengar langkah-langkah mendekati kamarku, dan aku sudah membuka pintu bahkan sebelum mama mengetuknya.
“ Ada temanmu tuh,” kata mama dengan pandangan matanya yang aneh.
“ Ya, Ma. Aku temuin dia dulu ya?” mama masih menatapku aneh, kemudian mengangguk.
Aku bergegas menuju ke ruang tamu. Disana, Aal menunggu dengan gelisah.
“ Hai,” aku menyapanya sembari tersenyum. Dia kelihatan lega ketika melihatku. “ Nggak parah-parah amat kan?” tanyaku pelan. Dia mengangguk kecil.
Kamipun mengobrol seperti biasa . Dia sudah sedikit agak tenang ketika mamaku keluar sembari membawakan minuman untuk Aal.
“ Terima kasih Tante, seharusnya tidak perlu repot-repot,” kata Aal, kembali terlihat tegang.
“ Ah, nggak repot kok. Oh ya, kamu pacarnya Fany?” tanya mama blak-blakan. Aku menatap mama cepat. Kenapa mama malah bertanya seperti itu?
“ Eh, anu.. hmm .. y..ya.. ya tante..” Aal menjawab gelagapan, sembari menatap panik aku, dia pasti mengira aku telah mengatakannya kepada mamaku.
“ Ah, begitu ya. Eh, begini Nak… eh, nama kamu siapa?” tanya mama.
“ Aal, tante.”
“ Nak Aal, tante sangat senang kalau Fany punya banyak teman, itu penting juga untuk masa depannya kelak. Namun, untuk sekarang ini, Tante berpikir belum saatnya Fany untuk pacaran dulu, dia kan belum lagi 16 tahun. Untuk sementara, berteman sajalah dulu, jangan pacar-pacaran segala. Kalian nggak mau kan, kalau sekolah kalian terganggu gara-gara waktu yang seharusnya kalian gunakan untuk belajar, malah digunakan untuk pacaran?” kata mama. Aku masih bisu, tak sanggup mengatakan apapun. Begitupun Aal. Dia hanya menatap lantai dengan air muka yang tak dapat ditebak emosinya.
 “ Tante memperbolehkan kamu datang main ke sini, tapi sebatas temannya Fany aja. Ingat ya, jangan pacaran!” lanjut mama. Setelah berbicara seperti itu, mama bangkit dan kembali ke dalam rumah. Aal pun bangkit.
“ Eh, kamu mau kemana?” tanyaku.
“ Aku mau pulang Fan,” katanya pelan.
“ Kok cepat? Ini airnya belum diminum,” kataku.
“ Fan, kamu dengar sendiri mama kamu ngomong apa kan? Aku harus menaati peraturan mamamu kalau mau dekat sama kamu,” katanya sembari membelai lembut puncak kepalaku.
“ Besok kita ketemuan kan?” aku berbisik kepadanya, dia tersenyum sembari mengangguk.
Malam itu berakhir sedikit kelabu..
“ WAH, restu terhalang orang tua nih ceritanya…” ledek Aini di seberang.
“ Memang, tapi seru lagi, pacaran backstreet…” kataku.
“ Ih, apa enaknya? Kemana-mana musti bohong dulu, alasannya macam-macam lagi, ke rumah teman lah, belajar kelompok lah, ada les lah.. benarkan?” katanya. Aku tersenyum sembari membenarkan perkataannya dalam hati. Aku telah membuktikannya. Betapa susahnya pacaran sembunyi-sembunyi seperti itu. Harus pintar-pintar bohong, dan ketika pulangnya jantung deg-degan. Takut ketahuan telah berbohong. Namun lepas dari itu semua, segalanya berjalan lancar.
Tepat sebulan setelahnya……
Aku sebeel banget. Jam pulang sudah berbunyi hampir setengah jam yang lalu, namun Pak Suherman, guru Kimia belum mau beranjak meninggalkan kelas. Kan bete jadinya, mana Aal masih setia menunggu aku di depan kelas.
Akhirnya setelah sekian lama, Pak herman akhirnya mau keluar juga dari kelas. Aku bergegas merapikan semua alat tulisku dam berhambur keluar kelas. Aal masih di sana, duduk sembari membaca buku. Ketika menyadari kelas telah bubar, dia mendongak dan tersenyum melihatku mendekat.
“ Kok lama sih keluarnya, Bee?” tanyanya. Aku tersenyum mendengar sapaannya itu. Itu adalah nama kesayangannya buatku. nggak tahulah kenapa dia memilih lebah untuk menggambarkan aku. Pas aku tanyakan, katanya sih karena aku ini punya banyak kebiasaan manis. Semanis madu gitu deh..(agak-agak garing sih, tapi nggak apa-apa lah..). Sementara aku memanggilnya dengan sebutan Kinnow. Nggak ada makna khusus sih, Cuma lucu aja kedengarannya.
“ Tauk nih, Pak Herman lagi demen banget sama bangku gurunya kali?” jawabku sekenanya. Dia terbahak sembari mengacak-acak rambut pendekku. Aku memberengut manja.
“ Aaah.. Kinnow.. rambut Bee jadi berantakan nih..”kataku sembari mencoba merapikan rambut.
“Eh, kita makan di mana?” tanyanya. Aku mengangkat bahu.
“ Eh, kita ke taman kota aja yuk, disana kan lagi ada pestival gitu. Ada taman bermainnya gitu,” usulnya.
Aku setuju, dan jadilah hari itu, seperti hari-hari sebelumnya aku mencuri waktu sepulang sekolah bersama Aal. Aku sungguh merasa bahagia kala itu, mencoba berbagai macam wahana permainan. Namun semuanya menjadi berbeda ketika  sebuah tangan merenggut lenganku lepas dari gandengan Aal saat itu. Terperangah, aku menyadari bahwa yang menarik tanganku adalah Mama!!
“ Jaid begini kelakuan kamu Fan? Mama nggak nyangka, sepulang sekolah kamu main-main dulu!” Mama memang mengucapkan kata-kata itu dengan pelan, namun aku tahu, Mama sangat murka kepadaku. Matanya yang berkilat-kilat menegaskan segalanya, dan pandangan dinginnya beralih kepada Aal yang sama terkejutnya denganku.
“ Saya sudah pernah bilang sama kamu kalau saya melarang Fany pacaran dulu, kenapa kamu masih ngotot?” tanya Mama dengan nada yang tak kalah dingin dari pandangannya. Aal tergagap, tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Tanpa menunggu jawaban, Mama menarik tanganku, menyeretku pulang.
Setibanya di rumah, aku dimarahin habis-habisan. Aku tidak pernah melihat Mama semurka itu. Aku tahu, semua karena kesalahanku yang tidak mengindahkan kata-kata orang tua. Namun, saat itu aku merasa Mama keterlaluan. Apa salahnya sih seorang remaja seumurku pacaran? Toh, kami Cuma pacaran biasa. Dan, malam itu aku menangis semalaman. Aku tahu, Mama sudah sangat benci dengan Aal, itu artinya, tidak ada jalan lagi bagi hubungan kami.
Esoknya, seperti biasa, kami bertemu di pojokan perpustakaan. Aku nggak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Aku Cuma terdiam, dan sepertinya dia mengerti suasana hatiku saat itu. Dia juga terdiam, hanya tangan kami yang menggenggam menularkan dukungan satu sama lain.
“ Kemarin Mama marah?” tanyanya singkat dan pelan. Aku hanya mengangguk. Dia kembali terdiam sama sepertiku, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Ketika akhirnya jam istirahat usai, kami berpisah dalam kebisuan senyap yang menyakitkan.
Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kebuntuan. .
“ Bagaimana kelanjutan hubunganmu dengannya?” tanya Aini.
“ Bagaimana lagi? Aku mundur teratur pada akhirnya. Karena menurutku tidak ada gunanya membangkang kepada orang tua. Kita tidak akan bahagia. Dan sepertinya Aal juga berpendapat seperti itu, ketika akhirnya aku minta putus dia hanya berpesan agar aku rajin belajar,” kenangku. Tenggorokanku tercekat. Airmataku mengambang dan aku serasa tengah flu hebat. Aku tidak menyangka kalau kenangan itu masih membuatku sakit bahkan setelah bertahun-tahun  berlalu, meninggalkannya dan menjalani kehidupanku.
Aku sakit. Dia adalah cinta pertamaku. Cinta paling nyata sejauh ini. Aku masih bisa merasakan perasaan tidak mengenakkan ketika mengingatnya. Seperti ada cacing yang tengah menggeliat di dalam rongga perutmu, diiringi jantung yang tiba-tiba berdegub kencang. Bahkan sampai sekarang..
 Dia melekat sangat kuat dalam hatiku. Ketika dia direnggut secara paksa oleh kenyataan, serasa hatiku ikut menghilang. Bertahun-tahun kemudian, aku belajar mengingat bahwa dia telah pergi, ketika aku tenggelam dalam kenangan bahagia  bersamanya dua bulan itu.. hanya dua bulan waktu yang kuhabiskan bersamanya, namun kenangan itu membunuh rasaku bertahun-tahun kemudian. . and you here in my heart and my heart will goon…

“ STOP!! Kamu bisa membuat seorang lajang bunuh diri dengan ceritamu itu. Kok sedih banget sih?” kata Aini menyela. Kemudian terdengar dia menyedot ingusnya keluar.
“ Kamu menyuruhku menceritakannya. Memang begitulah yang kurasakan..”
“ Aku ingin mendengar kisah yang selanjutnya!” desaknya.

Dua tahun tanpa cinta, dua tahun dengan hati yang mati rasa. Membunuh rindu bertemankan sajak-sajak patah hati..

Tuhan tahu kemanakah setiaku berkiblat…
Tak hanya kemarin,sekarang, ataupun selanjutnya…
Akan tetapi hati tak kunjung ikhlas akan cinta yang tak berujung…
Akan asa yang tak kunjung bertepi akan suatu munajat..
Munajat cinta…
Harapan akan kebahagiaan…
Aal, seandainya ku bisa menulis namamu
Dalam takdirku…………..


STORY 4 : BIAN a.k.a CINTA SEUMUR HIDUP

                “ Anak-anak, ini Bapak antarkan guru baru yang akan mengajar kalian pelajaran Matematika. Pak Bian,” kata Bapak Kepsek siang itu. Lalu, masuklah dia. Dengan kemeja lengan panjang yang lengannya dilipat, dia terlihat biasa.
Kala itu aku kelas 3 SMA. Tak habis pikir, disaat kritis seperti saat ini, ketika ujian mendekat, Pak Yatno yang biasa mengajar kami meninggal dunia. Dan terpaksa, nasib kami semua jatuh ke tangan Pak Guru baru ini. Namun, aku mencoba berpikir positif. Mungkin Pak Bian bisa membimbing kami lebih baik. Mulai hari itu, Pak Bian mulai mengisi hari-hariku dengan rumus-rumus mematikannya itu.
Seiring waktu berjalan, aku semakin akrab dengan kehadirannya. Senyum dan suara khasnya seakan mewarnai hambar duniaku yang ditinggalkan Aal. Aku menjadi semakin terbuka dalam memandang dunia. Seakan dunia yang semula kuanggap sempit kini meluas dalam bingkai harapan baru seiring kehadirannya yang pelan-pelan menyusupkan rasa yang tak asing dalam hatiku. Ada gelora-gelora baru meletupkan kebahagiaan dalam setiap waktu kehadirannya, membuahkan semangat merengkuh tiap detik hari selanjutnya, ketika sebuah hari tertamatkan..
Lama aku mempelajari suasana hatiku yang baru, mencoba menjabarkannya dalam definisi yang lebih sederhana. Ada rasa lain, melebihi rasa kagum akan kecerdasan otak ataupun gagah siluetnya. Ada rasa yang lebih murni dari semua itu. Rasa yang hanya akan timbul ketika lembut cinta menyapa hatiku.
                “ Selamat datang Cinta,” bisik kalbuku setiap kali aku memandangnya. Aku menyambutnya yang telah melangkah jauh dalam hatiku, menjejakkan eksistensinya disana, membawa damai yang kian jauh dari hatiku.

                “ Tapi dia kan guru? Walaupun dulu aku ikut senang ketika kamu jadian sama Pak Bian, tapi aku nggak habis pikir bagaimana mungkin kamu bisa jatuh cinta dengannya?” sela Aini.
                “ Aku nggak tahu. Perasaanku timbul begitu saja, mungkin Tuhan ingin menebus setiap tetes air mata dan kekecewaan dari cinta-cintaku yang sebelumnya dengan mendatangkan cinta yang bagiku paling berharga, juga yang paling indah diantara semuanya..” jawabku.
                “ Tapi saat itu kan Pak Bian  sudah bertunangan ya? Aku ingat betul saat itu kamu sampai nangis bombai segala..” kenang Aini, memaksaku mengingatnya lagi.

                Dia sudah terikat dengan cinta yang hadir lebih dulu. Aku menangis dalam hati, membayangkan satu lagi cinta yang tak berujung, menghadirkan kesakitan yang melebihi penderitaan-penderitaan  sebelumnya. Aku sempat berpikir kalau lembar-lembar takdirku tak tersisa untuk satu kisah cinta abadi. Hanya ada cinta yang cacat, yang ternoda penghianatan, dan yang tak tersentuh. Aku bersembunyi dalam diamku, malu menatap realita yang seperti mengejek kegagalanku dalam meraih sebuah cinta.
Namun, itu tak merubah apa-apa. Aku tetap menatapnya dengan cinta yang sama, membisikkan kalimat yang sama setiap kali dia lewat, tentu saja kalimat itu hanya bergaung dalam ruang hatiku yang kosong.
                “ Selamat datang Cinta..”
Hingga di suatu malam minggu yang sama sunyinya dengan malam sebelumnya…
Aku baru selesai melaksanakan sholat Isya ketika bunyi hp memecah kesunyian. Sebuah pesan, dari Pak Bian.
                ‘Seandainya aku bisa, dan seandainya kamu setuju, saat ini, aku ingin berdiri di hadapanmu, memandang jauh ke dalam jiwamu, dan melihat kedudukanku dalam hatimu. Sesungguhnya aku tahu apa yang tersembunyi di balik keanggunan sikapmu.. namun, diantara kita terdapat membran yang walaupun tipis, aku tidak tahu dimana porinya.. seandainya kau melubanginya sedikit saja, maka niscaya aku akan menembusnya dan mengambil apa yang bisa ku pegang..’
Aku serasa tidak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Setengahnya aku malah beranggapan bahwa ini adalah selembar mimpi yang lain. Segalanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Namun, setelah beberapa kali aku mencubit lenganku sendiri, aku cukup yakin ini bukanlah mimpi. Namun, prasangka lain muncul. Jangan-jangan ini adalah sebuah lelucon.
Aku menunggu beberapa saat menunggu konfirmasi bahwa Pak Bian salah memasukkan nomor hp ketika mengirim sms barusan, namun yang ada adalah pesan susulan yang berbunyi:
                ‘ Saya masih menunggu..’
Hatiku berdegub kian menggila. Tak tahu hendak berkata apa, atau bagaimana menanggapinya. Aku hanya tahu bahwa sebuah kekuatan asing menguasai jari-jariku ketika mengetik jawaban pesan dari Pak Bian.
                ‘Saya tahu, rasa yang tersembunyi itu tak seharusnya ada. Saya juga tidak tahu bagaimana menjembatani membran tipis diantara kita itu. Jarak diantara kita memang tak terbatas, walau tampaknya kita berdekatan.. dan, jangan pernah rasakan rasa yang saya rasa, saya terlalu pengecut untuk bisa membaginya dengan bapak..’
Tak lama kemudian, balasannya tiba..
                ‘ Kalau kehendak memang ada, mengapa kita tidak menembus membran itu bersama-sama?’
Bagiku kalimat itu lebih dari ungkapan ‘ I Love You’. Dengan senyum secerah mentari, ku sambut kisah terindah yang pernah kudapati dalam keseluruhan hidupku….

                “ Aku ingat banget tuh, saat itu kamu datang sambil sumringah ke rumahku. Kamu nggak pernah berhenti tersenyum, bahkan ketika tanpa sengaja kepalamu kejedot pintu..” kata Aini mengingatkanku. Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Aku ingat banget kejadian itu.
                “ Tapi bukannya saat itu Pak Bian sudah punya pacar kan? Kabarnya malah sudah tunangan,” kejar Aini.
                “ Namanya Astrid. Mereka memang telah lama pacaran, namun nggak sampai tunangan kok,” jawabku.
                “ Terus, gimana nasib cewek itu?”
                “ Bian memutuskan hubungan mereka ketika memutuskan untuk berhubungan serius denganku. Aku sempat merasa nggak enak juga. Tapi, Bian memang telah jenuh dengannya ketika berkenalan denganku. Jadi putusnya hubungan mereka bukan kesalahanku seutuhnya..” ujarku membela diri.
                “ Ya deh, gitu aja sewot. Tadi kan Cuma bercanda Jeng!” kata Aini sembari terbahak. “ Lantas bagaimana ceritanya sampai kamu bisa nikah sama Pak Guru yang Ganteng itu?”

Malam itu…
                “ Menikahlah dengan Abang Fan,” bisiknya sendu. Aku menatap jauh ke kedalaman matanya yang menyejukkan. Ada harapan akan sebuah kebahagiaan abstrak disana. Hanya sebentuk cinta yang lengkap yang membuat aku yakin untuk mengangguk, menaklukkan sketsa asing berbentuk keraguan dan ketakutanku menyambut kehidupan yang pasti akan lebih rumit nantinya. Cinta itu telah tiba, setelah bertahun-tahun ku gaungkan kalimat itu dalam hatiku..
                “ Selamat Datang, Cinta…”
Dan, dua bulan kemudian kami melangsungkan pernikahan kami dengan begitu sederhana… dia adalah cinta seumur hidup, yang akan senantiasa membuahkan kebahagiaan dalam kuatnya perasaan saling membutuhkan dan pengertian akan kekurangan masing-masing. Tanpanya, aku bukanlah aku. Dalam kegalauan dan keputusasaan akan cinta yang senantiasa tertunda kekecewaan, dia hadir memangku takdir kami..
Dia berjanji akan mencintaiku tanpa batas waktu, dengan sebentuk cinta yang lebih murni dari perasaan rindu yang menggila. Kesediaannya untuk menjaga hatinya hanya untuk aku dan anak-anaknya kelak adalah bentuk cinta versi-nya. Cahaya yang senantiasa setia menyinari setiap gulita di lembar-lembar kehidupanku. Cinta, hanya kau, seumur hidup……..

                “ Aku nggak komen apa-apa deh, kisah yang ini memang top,” kata Aini. Aku tersenyum mendengar ucapannya.
                “ Jadi aku benar kan, cinta yang kamu punya hanya ada empat?” kejarnya ketika aku hanya terdiam.
                “ Lima,” jawabku.
                “ Lho, siapa lagi? Kan sudah happy ending?” katanya.
                “ Ada satu lagi.”
                “ Astagaa, jangan bilang kamu selingkuh dari suamimu Fan!”
                “ Gila lo, enggak lah!”
                “ Lantas?”
                “ Dia hadir ketika aku belum menikah sama Bang Bian,” jawabku.
                “ Siapa? Kok aku nggak pernah tahu?”

STORY 5 : DHIKA a.k.a CINTA TERAKHIR

                “ MBAK, ini pulpennya jatuh,” sebentuk  suara menarik perhatianku ketika kala itu aku hendak meninggalkan kantin kampus. Aku menoleh dan melihat seorang cowok tengah memegang pena yang ku kenal memang milikku. Aku mengambilnya sembari mengucapkan terima kasih. Tak ada yang spesial dari pertemuan pertamaku dengannya. Dhika..
Dia satu kampus denganku, namun beda fakultas. Setiap sarapan pagi, aku sering melihatnya di kantin, selalu. Mulanya tak ada yang spesial hingga hari itu, ketika akhirnya dia mengajakku ngobrol. Dia pintar, apapun tema yang menjadi bahan obrolan kami akan terasa sangat menarik dan menyenangkan. Dia juga lucu, pandai sekali membuatku rileks ketika aku sedang pusing dengan perkuliahan dengan cerita yang bisa jadi sangat biasa. Dia adalah seorang teman dekat, teman yang hanya bisa kutemui ketika sarapan dan makan siang, teman yang menyenangkan, yang membawa cinta dalam definisi tak biasa. Ya, hubunganku dengannya tak pernah lebih dari sekedar teman. Namun, dia mencoba mendobrak batas itu suatu ketika.
                “ Aku nyaman sama kamu,” katanya. Aku sudah berhari-hari memikirkan kejadian ini, aku takut kalau hal semacam ini akan terjadi. Aku tidak mungkin memberinya cinta seperti yang ada dalam benaknya. Bagaimanapun, aku sudah menyimpan hatiku hanya untuk satu orang, yang dengan setia menungguku kembali, Bian.
                “ Aku juga nyaman berteman sama kamu,” jawabku, sengaja memberikan penekanan khusus pada kata teman itu.
                “ Kamu tahu maksudku Stefani..” katanya sendu. Oh No, aku bisa luruh hanya dengan menatap matanya.
                “ Tapi, aku nggak bisa..” jawabku akhirnya.
Dia hanya memandangku tanpa ada ekspresi khusus tergambar di wajahnya. Aku jadi tak enak. Lantas kemudian, dia tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.
                “ Nggak apa-apa. Nggak usah dipikirin,” katanya santai. Aku jadi semakin nggak enak.
                “ Biarkan aku menjelaskan.”
                “ Jangan! Aku nggak perlu mendengar itu. Aku tahu aku mungkin tak cukup pantas buatmu,” katanya.
                “ Bukan seperti itu. Aku senang bisa mengenalmu dan dekat denganmu. Kamu membawa kesan khusus dalam kehidupanku. Namun, aku telah memiliki seseorang. Dan akan sangat tidak adil untukmu jika aku memberimu kebahagiaan yang tak utuh, cinta yang tak utuh..” kataku. Aku menyaksikan mata itu melemah dan kemudian menunduk.
                “ Aku senang denganmu, aku gembira bersamamu. Dan aku harap kamu mau bersamaku hingga nanti, ketika aku harus kembali padanya…” aku mengatakan hal itu tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Yang aku tahu, itulah yang kuinginkan..

                “ Jadi kamu memberikan harapan palsu kepada seorang cowok, padahal kala itu kamu telah terikat pertunangan dengan Bian?” sela Aini, seperti biasa.
                “ Aku tidak memberi harapan. Aku hanya memintanya bertahan di sampingku  hingga tiba saatnya aku harus kembali dan menikah dengan Bian. Aku hanya meminta sedikit waktu, setidaknya aku punya cukup kenangan yang bisa kusimpan dalam memoriku, bahwa aku pernah punya seorang teman sebaik dia,” kataku.
                “ Bagaimana dengan dia? Kamu nggak pikirin perasaan dia?”
                “ Aku tahu, dan  aku memilih untuk menjadi egois. Aku menyayangi dia hingga cenderung obsesif, aku nggak mau dia dekat dengan cewek lain. Itu kulakukan karena aku hanya punya tak lebih dari satu tahun dengannya. Dan dia bertahan menemaniku selama hampir satu tahun sebelum kemudian aku pulang dan menikah dengan Bian.”
                “ Nggak bisa dipercaya, hari gini masih ada cowok yang kayak gitu? Tapi, dia nggak macem-macemin kamu kan?” Aini terdengar galak.
                “ Nggak lah, dia sangat sopan. Mungkin dia berpikir aku dipersiapkan Tuhan bukan untuknya,” kataku.

Hari itu, hari terakhir…
Dia menatapku dengan mata yang dingin. Aku membiarkannya dan tak menanyakan apa-apa. Aku sudah cukup menyiksanya. Aku paham jika akhirnya dia membenciku.
Aku akan pulang hari ini, aku akan kembali kepada Bian dan kemudian menikah dengannya. Ketika saat itu tiba, aku harus menutup hatiku rapat-rapat untuk  yang lain. Hatiku pedih hanya memikirkannya saja. Dhika sudah sangat baik padaku setahun ini, dan hari ini aku tahu tak ada yang pernah kuberikan kepadanya selain kekecewaan. Seutas kalimat permintaan maaf tak akan berarti apa-apa. Jadi aku memutuskan akan berpamitan saja…
                “ Aku akan pulang hari ini, aku mungkin tak akan kembali lagi,” kataku pelan.
                “ Bagaimana dengan kuliahmu?” tanyanya tanpa kuduga sebelumnya.
                “ Aku sudah mendaftar di Kampus di kotaku. Aku juga sudah mengurus perpindahanku dan transfer nilai segala macam. Semua telah beres,” kataku.
                “ Kamu kembali buat dia kan?” tanyanya. Aku hanya terdiam.
                “ Walaupun aku telah tahu, namun toh rasanya sakit juga,” katanya lagi.
                “ Maafkan aku Dhika..” aku hanya sanggup mengatakan itu.
                “ Sudahlah, ini memang sudah ditakdirkan terjadi.  Aku bahagia bisa bersamamu beberapa saat, mencintaimu dengan tulus dan perasaan ikhlas ketika akhirnya kamu harus pergi. Ada satu hikmah yang sangat menyentuhku ketika bersamamu, bahwa sejatinya tidak ada hal yang benar-benar menjadi milik kita..” katanya. Aku hanya membisu, tak sanggup lagi mengatakan apa-apa…
                “ Ini,” katanya sembari menyorongkan sesuatu ke dalam tanganku.
                “ Apa ini?”  tanyaku.
                “ Hadiah perpisahan. Aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari,” katanya.
Aku menatap pemberiannya dengan nanar. Detik berikutnya aku sudah berlabuh di pelukannya, menangis dan menumpahkan perasaan sayangku padanya untuk kali yang terakhir. Dengan lembut dia melepaskanku dan berbalik meninggalkanku. Aku masih menangis ketika melihatnya menjauh dan menghilang. Aku ingin mengejarnya, berkata padanya bahwa aku bisa pulang besok, bahwa kita masih punya waktu satu hari lagi, tapi aku tahu tak ada gunanya. Sekarang atau besok, perpisahan akan tetap terasa menyakitkan. Dan tak perlu merasakannya berulang kali.
Perlahan aku membuka bingkisan pemberiannya. Didalamnya terdapat sebuah cd band favoritku dan secarik  kertas bertuliskan kalimat yang lumayan panjang..

‘Cinta…
Bukalah sebuah harga mati dari segala hal..
Hanya saja, kadang-kadang kita kerap kali terpancing akan hal sejenis cinta..
Hingga tanpa kita sadari, cinta sudah terlalu sering menyakiti kita..
Ketika kita yakini sosok yang kita cintai tak ada lagi..
Ada kalanya kita bisa menyampaikan cinta kita dengan cara memaafkannya yang tak mau                                                              mendengarkan ungkapan cinta yang kita bisikkan…
Hidup penuh dengan misteri..
Dan, biarpun sepertinya sepeleh,
Cinta bisa jadi misteri kehidupan yang paling besar………………..’

                “ Ya, lengkap sudah ceritanya..” kata Aini setelah aku selesai berkisah.
                “ Kapan Film-nya rilis?” tanyaku menggodanya.
                “ Yah, cerpennya belum ditulis kok sudah ngomongin film?” tanyanya.
                “ Ya, aku pikir ceritaku mau sekalian dibuatin skenarionya saja, biar film-nya bisa cepat jadi,” kataku.
                “ Boleh juga usulmu, ntar aku coba deh. Oke, aku tutup dulu ya? Nggak sabar mau nulis,” katanya. Kemudian klik! Telepon ditutupnya sepihak.
Aku masih memegang gagang telepon, aku memikirkan Aini. Dia begitu bersemangat hingga melupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan lebih penting dari keseluruhan kenangan yang kuhidupkan kembali hari ini. Apa arti cinta itu? Apakah perasaan menggebu-gebu yang disertai jantung yang berdegub kencang, ataukah perasaan cemburu yang berlebihan?
Jika semua kisahku kuanggap cinta, betapa banyak cinta yang kupunya.
Cinta, hanyalah sebuah kata tanpa makna yang spesifik. Cinta ibarat angin, tak terlihat namun bisa dirasakan kehadirannya. Cinta ibarat air, tak berwarna namun meredakan jutaan dahaga. Cinta ibarat api, kemilau warnanya elok menggoda, namun bisa membakar siapa saja yang dengan berani mendekatinya.
Cinta bukanlah harga mati, cinta juga tak harus setia.. kadang-kadang semakin kita mencintai, maka semakin sering kita menyakiti. Hhh… Cinta. Apakah makna sebenarnya dari cinta itu? Rasa abstrak yang menempati relung terdalam hati manusia, yang menjadi alasan seseorang untuk hidup dan sekaligus mati pada saat yang bersamaan.. ?
Bagiku, cinta adalah setiap tetes air mata yang tercurah ketika hati teriris cemburu. Cinta adalah sketsa tawa ketika hati terkejut dalam getaran rindu yang nakal. Cinta adalah definisi paling sederhana tentang kehidupan, juga memangku arti yang paling rumit tentang hakikat hidup itu sendiri.. Cinta…
Kadang, cinta juga kerap diuji, ketika yang kau harapkan tak sebanding dengan apa yang kau miliki. Ketika sosok yang kau anggap malaikat, ternyata tak lebih dari manusia yang fana. Namun, bukan hanya tangis, tawapun menghias dalam sejuta sketsa yang terukir haru dalam lembar-lembar hari yang panjang, hingga akhirnya, ketika malam terlelap dalam damai..
Begitu banyak cinta yang datang dan pergi, silih berganti. Namun, diantara cinta yang banyak itu, adakah cinta sejati? Cinta yang akan tetap cinta bagaimanapun situasinya, bagaimanapun keadaannya. Cinta dimana kita tak perlu sembunyi dalam topeng, cinta yang sedikit lebih nyata dari kisah dalam dongeng. Cinta yang tidak akan membenci ketika disakiti, yang akan selalu membuka lebar-lebar tangannya dalam maaf. Cinta, yang untuknya kita rela mati, cinta yang untuknya kita mau mengorbankan apapun, bahkan sepenggal nafas dalam upaya berbagi kehidupan. Dan, aku telah memilikinya, cinta tanpa syarat, yang akan senantiasa hidup untuk selamanya..
Aku punya cinta yang ke-enam. Cintaku kini tengah berdiri memandangku. Wajahnya kuyu, tergurat kelelahan akan segala aktifitasnya hari ini. Cintaku datang menghampiriku dalam senyum tulusnya yang sama, dan memelukku.
                “ Capek Sayang?” tanyaku. Dia hanya mengangguk dan membenamkan wajahnya semakin dalam di pelukanku. Betapa ingin aku senantiasa berada disampingnya, melihatnya selalu tersenyum dalam kebahagiaan.
                “ Ya udah, kita makan yuk?” ajakku. Dia ikut tanpa enggan.
Dia melahap semua makanan yang kusajikan untuknya. Aku sangat menyukai melihatnya makan. Dia makan sangat lahap, tidak pernah mengecewakan aku yang selalu memasakkan makanan kesukaannya. Setelah ini dia akan menciumku sembari mengucapkan terima kasih, dan dia menuju kamarnya untuk berganti pakaian dan istirahat. Namun, kali ini dia hanya memandangku sangat lama. Sejuta makna tertanam dalam pandangan matanya yang sendu. Dan aku tahu apa yang akan diucapkannya, karena aku juga ingin mengucapkan hal yang sama.
                “ I Love You, Mom…!” katanya.
Aku tersenyum mendengarnya. Dialah cinta sejatiku, cinta yang tak akan lari dariku. Dan dengan cinta yang meluap, aku menjawabnya.
                “ I love You Too, Fathan….”

 Selesai dengan cinta…
Thanx to: cinta..
‘makin aku cinta’ dan ‘selamat datang cinta’ adalah
Mahakarya pencetus inspirasi..




4 komentar:

  1. wah, aku tau artinya:

    8ku 1uk8 k87u,k87u j3l3k

    kayaknya pake sandi soedirman nie!

    hehe...

    BalasHapus
  2. ada seseorang yang dulu pernah nulis itu... kira2 waktu itu dia serius gag yaa??? menurut kk, dia serius gag???????

    BalasHapus
  3. wah...2x tu anak, pake sandi-sandian segala kykx yg ngasi itu anak pramuka ya! lw serius atau ga nya, mungkin aja dia serius. yang jelas pasti dia jadi ga enak hati, karena tidak mendapat tanggapan apa-apa... apalagi klo topan itu orang yang pendiam, dia pasti sudah berusaha mengumpulkan segenap keberanian untuk sekedar menuliskan itu.

    BalasHapus
  4. sebenarnya,,jika saja kedua tokoh itu bisa sedikit lebih PEKA akan perasaan masing2,,endingnya akan sangat berbeda...
    namun,,sekali lagi,,
    masa lalu hanya akan berakhir sebagai obsesi abadi....
    however,,thanks for coment!!!!

    BalasHapus