honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Senin, 13 Desember 2010

ALIF



Suatu pagi di bulan april..
Tangisnya memecah kesunyian pagi, seolah mengoyak sunyi yang bersenandung. Sedannya terasa sangat menyiksa setiap insan yang mendengarnya. Dia seolah menggertak pagi yang membekukan, atau mungkin takut dengan dingin itu. Yang pasti, kehadirannya kuiringi dengan air mata bahagiaku. Aku begitu gembira, hingga rasa sakit yang mendera terasa pias. Kutatap wajah suamiku tercinta, memastikan rona bahagia yang ada disana. Dan dia tengah menatap buah cinta kami dengan beruraiair mata.

Dia kami namakan Alif, huruf pertama yang diajarkan ketika kita belajar mengaji. Kami berharap kelak, Alif akan bersahaja selayak namanya. Sederhana, tunggal, dan kokoh. Kami sangat menyayanginya, mengingat kehadirannya telah kami rindukan selama lima tahun. Hari-hari pertama setelah kehadirannya, malam-malamku terasa penuh. Tak ada celah sedikitpu untuk yang lain. Tapi aku tak pernah mengeluh dengan kebahagiaan ini.

Suamikupun mengalami perasaan yang sama. Dia merasa sangat jatuh cinta kepadanya. Kepada Alif yang semakin hari semakin lincah dan menggemaskan. Yang semakin mencuri bukan hanya sekedar perhatian dan cinta, namun juga separuh nafas dan jiwa kami.

Alif tumbuh dengan sangat cepat. Setahun setelah kelahirannya, tingginya sudah hampir satu meter. Dia lincah, aktif dan sangat responsif. Dia sangat membanggakan, dengan tingkah lucunya yang selalu mengundang derai tawa. Orang-orang selalu memujinya sebagai calon profesor, calon pemimpin dunia. Dan aku selalu tertawa, dan dalam hati mengamini ucapan mereka.

Mimpi burukku bermula. Ketika menginjak usia dua tahun, sesuatu yang ganjil terjadi pada Alif. Dia menolak makan, mogok minum susu. Dia berhenti berbicara, tak mau bergerak sedikitpun. Aku bingung, karena Alif tidak menunjukkan tanda-tanda demam atau sakit. Aku membawanya ke dokter, dan menurut dokter, Alif mungkin mengalami trauma. Kemudian, dokter itu bertanya apakah belakangan ini aku pernah memarahinya, atau memukulnya. Aku memberitahunya bahwa dari dia lahir, aku tidak pernah memarahinya apalagi memukulnya. Namun, dokter itu malah menanyaiku apakah aku pernah mengalami bluebaby syndrome alias sindrome bayi biru, penyakit kejiwaan yang dialami wanita pasca melahirkan, dimana seorang ibu merasa dendam kepada bayi yang baru saja dilahirkannya dan cenderung membenci anaknya dengan begitu banyak pemicu. Aku bilang kepada dokter itu kalau aku baik-baik saja. Namun, dari pandangannya yang tajam menyelidik, aku tahu kalau dia tak percaya padaku.

Lantas aku memutuskan mencari second opinion ke dokter yang lain. Dan setelah pemeriksaan kejiwaan yang dilakukan dokter itu kepada Alif, diketahui kalau alif menderita Autis. Aku tak pernah benar-benar faham apa Autis itu. Aku menghubungi dokter yang direkomendasikan dokter yang memeriksa Alif dan menyarankan aku menghubunginya jika aku memerlukan keterangan lebih mendalam tentang penyakit Alif.

Dan pada pertemuan pertama kami dengannya, kali ini ditemani suami, dr. shinta mencoba mengajak Alif berkomunikasi. Dan Alif seperti biasa, tak merespon dan diam, seolah tenggelam dalam pikirannya, yang ada hanya dirinya seorang.
                “ Alif mungkin memang Autis.” Tandas dokter itu.
                Aku bertukar pandang dengan Mas Ilham, suamiku.
                “ Maaf dok, tapi kami tidak benar-benar faham penyakit apa Autis itu. Dan apa yang menyebabkannya bisa terjadi kepada Alif anak kami.” Ujarku.
                Dokter itu memandang kami sejenak. “ Banyak sekali orang tua, yang seperti anda berdua, tidak benar-benar tahu, dan mengerti apa Autis itu. Yang pertama yang harus anda mengerti adalah, autis itu bukanlah penyakit, yang ada penyebabnya dan ada obat yang bisa mengobatinya. Autis juga bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan. Autis adalah keadaan kejiwaan seseorang dimana seolah-olah dia memiliki sebuah dunia pribadi. Dia ‘tenggelam’ dalam pikirannya, dan dia tidak sadar dengan keadaan disekitarnya. Lihat Alif,” ujar dokter seraya menunjuk Alif yang masih terdiam dengan pandangannya melayang jauh dan tak fokus. “ dia mungkin sedang bermain, berceloteh dalam pikirannya. Namun, dia tidak menyadari, atau bahkan mendengar apa yang baru saja saya katakan..”
                Aku menatap anakku dengan prihatin. Apa yang sedang ada dalam pikirannya? Benarkah dia tidak menyadari apa yang sedang terjadi? Hatika sakit, menyadari kalau sekian lama, setelah dia tiba-tiba terdiam, dia tidak menyadari kehadiranku, atau mendengar kidung yang kunyanyikan untuknya setiap malam sebelum dia tidur.. anakku telah hilang, anakku telah tersesat..
                Air mataku jatuh, dan aku cepat-cepat menghapusnya. Namun, tak urung, dokter cantik itu memperhatikan. Dia menggenggam tanganku erat.
                “ Saya sangat mengerti kegundahan yang anda rasakan. Anda jangan khawatir, autis bisa disembuhkan. Banyak sekali kasus dimana seorang penderita autis kembali normal. Dengan banyak latihan dan terapi, saya yakin Alif bisa sembuh dan normal..” kata dokter itu. “ Jangan pernah menyerah akan rahmat Tuhan Bu..” lanjutnya.
                Aku menatap Alif, dia masih saja terdiam dengan pandangannya yang kelabu dan tanpa makna..


Beberapa tahun berlalu sejak kejadian hari itu. Alif tetap seperti sebelumnya, dengan tambahan tingkah yang sayangnya, jauh dari kemajuan. Kadang-kadang, dia bisa saja mengamuk tanpa sebab yang jelas, atau tiba-tiba menjerit nyaring dan menangis, seolah-olah melihat sesuatu yang mengerikan. Dan yang bisa kulakukan hanyalah mencegahnya melukai dirinya sendiri ketika dia berperilaku sedikit  kelewat agresif.

Selain itu tidak ada yang berubah dengan perasaanku kepada Alif. Aku masih mencintainya, semakin mencintainya dengan keadaannya yang tidak biasa. Dan aku yakin, suatu saat dia akan bisa membalas ekspresi cinta itu. Ini hanya masalah waktu. Seiring masa berlalu, aku yakin Alif-ku akan kembali dari ketersesatannya. Begitulah, setiap pagi aku menghibur diri dengan pengharapan dan asa.

Mas Ilham suamiku punya sebuah ide yang dia pikir akan bisa memancing reaksi positif dari Alif, yaitu memberinya seorang adik. Namun, dengan memikirkannya saja aku sudah tak sanggup. Aku tidak akan bisa jika harus membagi perhatianku dengan anakku yang lain. Sementara mengurus Alif seorang saja menguras hampir seluruh waktuku. Ketika keberatanku kusampaikan kepadanya, Mas Ilham hanya menarik nafas panjang.
                “ Namun, kita tidak bisa selamanya mengurus Alif saja Na.. Kita butuh anak yang lain, anak yang bisa kita banggakan, anak yang akan meneruskan keturunan kita, yang akan mengurus kita ketika kita tua nanti..” dia memulai.
                “ Alif akan sembuh Mas, aku yakin..”
                “ Sudahlah Na, sampai kapan kamu mau menipu dirimu sendiri..? Alif sudah tak punya harapan lagi. Dia sudah sepuluh tahun usianya sekarang, dan kamu tahu sendiri yang dokter bilang, selama ini Alif nggak meju-maju. Malah mungkin makin parah..”
                “ Mas!” aku setengah terkejut, setengah tak percaya. “ Apa maksud Mas? Mas mau membuang Alif begitu saja?”
                “ Aku nggak bermaksud seperti itu.. aku hanya mau kamu melahirkan seorang anak lagi. Apa susahnya?”
                “ Nggak, sama  sekali nggak susah. Satu-satunya masalah adalah bahwa aku akan kehilangan waktu mengurus Alif, karena kesibukanku mengurus anak kita yang baru lahir. Sementara mas tahu, Alif tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Bahwa sewaktu-waktu Alif bisa menyakiti dirinya sendiri jika kita lengah.”
                “ Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Dengan berjalannya waktu, alif akan terbiasa mengurus dirinya sendiri..”
                “ Mas, mas lupa apa yang disampaikan dokter pada hari pertama kita tahu Alif Autis? Dia bilang Alif sedang tersesat seorang diri di dalam pikirannya. Dan mas tahu apa yang selama ini coba kulakukan? Aku mencoba memasuki pikirannya, menggiringnya, menunjukkan jalan kembali. Dengan sedikit usaha dan kesabaran, aku yakin Alif akan sembuh..”
                “ Dan kalau aku melahirkan lagi,” aku melanjutkan. “ Aku tidak akan bisa menemaninya lagi. Aku akan tenggelam dalam kesibukanku dan melupakannya. Dan dia aka semakin tersesat. Mas mau dia seperti itu?”
                Mas Ilham kembali menarik nafas panjang. “ Kamu semakin aneh Na, kamu sadar kalau selama ini kamu sudah ikut-ikutan Alif, tak peduli keadaan sekitar?” kali ini nadanya sedikit mengeras.
                “Maksudnya?”
                “ Kamu aneh. Kamu sering melamun, kamu seringkali bengong. Aku khawatir Na, aku nggak mau kehilangan kamu.”
                “ Aku baik-baik saja Mas.” Tandasku kaku.
                “ Jangan bohong! Kamu tahu apa yang aku rasakan? Aku malu. Aku malu punya Alif yang idiot. Dan sekarang, istiku mungkin sudah menuju ke arah kegilaan. Kamu mau tahu apa pendapat orang tentang kita? Keluarga yang terkutuk..”
                “ Istigfar Mas,” ujarku lemah. Aku tidak pernah menduga dia akan berbicara seperti itu. “ Kenapa Mas harus malu, Alif nggak idiot. Dan aku nggak gila. Kenapa mas harus mendengarkan pendapat orang, orang-orang tidak tahu apa-apa. Dan kenapa Mas bilang kita keluarga yang terkutuk, bagaimana Mas tahu bahwa Tuhan tangah menghukum kita. Bagiku, alif adalah anugerah. Dan sangat indah. Tak semua orang mendapatkan kesempatan mengurus anak berkelakuan khusus seperti aku merawat Alif..”
                “ Berkelakuan Khusus? Berkelakuan aneh lebih tepat..”
                Aku menatapnya tajam, air mata bergulir dipipiku. “ LAntas kenapa? Mas, Alif tidak pernah minta menjadi seorang Autis. Aku jelas tidak pernah berharap mempunyai anak yang bahkan tidak mengenali aku sebagai ibunya. Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Memiliki anak lain, apakah akan menghapus keberadaan Alif? Tidak mas. Alif akan selalu ada, dan akan selalu dibanding-bandingkan dengan adiknya. Tanpa semua itupun keadaannya tidak bertambah baik mas.”
                “ Mas selalu mengeluh. Selalu menyesali keadaan Alif. Siapa yang ingin mas persalahkan? Kenapa tidak belajar menerimanya, dan menyayanginya tanpa syarats eperti ketika dia kecil dulu.”
                “ Tapi, aku nggak bisa. Kamu dengar apa pendapat keluarga besarku? Gara-gara dia, aku dikucilkan oleh mereka. Bahkan bapak dan Ibu tidak mau mengakuinya sebagai cucu..”
                “ Jadi, kenapa? Dia punya kita, orangtuanya..”
                “ Tapi itu tidak cukup Nana. Kamu tidak mengerti? Orang-orang menganggapku laki-laki tak berguna yang tidak mampu menghasilkan keturunan yang berkualitas, yang normal. Dan aku ignin membuktikan, bahwa aku bisa menurunkan keturunan yang baik, bukan hanya anak keterbelakangan mental macam Alif.”
                “ Menjijikan caramu memandang kehidupan Mas.” Kataku dingin. Kurasakan kemarahan menyeruak disela-sela udara yang tiba-tiba dingin seolah menguar keluar dari kepalaku. “ Kita manusia, bukan hewan ternak yang nilai harga dirinya bergantung pada kualitas keturunannya. Kita manusia, yang harkat dan martabatnya tercermin dari bagaimana cara kita menjalani kehidupan kita. Apakah kita ikhlas dengan kehidupan kita itu, atau malah kufur. Aku nggak nyangka mas bisa sekeji itu pada anak kandung mas sendiri, darah daging mas sendiri.”
                “ Kamu nggak ngerti Na..”
                “ Aku sangat  mengerti Mas.”
                “ Kamu tahu aku nggak mungkin menolak keinginan Ibu..”
                “ Apa yang diinginkan Ibumu?”
                “ Seorang bayi, seorang anak yang lain. Aku sudah bilang kamu masih belum siap memiliki anak lagi, tapi Ibu bilang semuanya tidak tergantung kamu. semuanya ada ditangan aku sebagai laki-laki.”
                “ Ibumu keliru. Semua keputusan, ada ditangan Tuhan.”
                “ Ya, tapi kita bisa berusaha Na..”
                “ Tepat. Kita harus berusaha kan? Kenapa Mas malah menyerah dengan keadaan Alif? Kenapa Mas tidak ikut aktif dalam proses penyembuhannya? Kenapa malah sibuk dengan pemikiran bahwa dengan memiliki anak lain, kehidupan kita menjadi lebih baik?” cecarku.
                Mas Ilham menghela nafas.
                “ Kamu egois Na,” katanya. Lantas dia melangkah menjauh.
                Aku terpekur setelah ditinggalkan sendiri. Aku tahu, aku paham betul kalau suamiku sangat menginginkan seorang anak yang lain. Namun, yang nggak bisa kumengerti adalah motivasinya dibalik keinginannya tersebut. Apakah pantas seorang ayah menyesali keadaan anaknya yang tak biasa? Sementara, Alif tidak pernah meminta untuk menjadi seperti saat ini. Alif mungkin adalah yang lebih menderita daripada siapapun dalam situasi ini. Dia yang mungkin lebih tidak mengerti mengapa dia bisa seperti itu. Mengapa bahkan ayahnya pun menjauhinya. Mengapa dia bisa terbuang? Walaupun dalam benakku, aku tahu, posisinya tidak tergeser sedikitpun dalam hatiku.
                Aku masih tetap mencintainya dengan tulus seperti biasanya. Aku masih menganggapnya bayi kecilku yang biasa, yang belum menyadari bahwa aku adalah ibunya. Tak ada yang berubah, terlepas dari kenyataan, bahwa sudah sepuluh tahun berlalu semenjak aku mendengar tangis pertamanya yang membelah pagi. Bahwa, anak-anak seusianya telah bersekolah, bermain dengan lincahnya. Aku tak pernah mengindahkan fakta itu. Buat apa? Tidak akan ada yang berubah dengan perasaanku.
                Beberapa bulan berlalu semenjak percakapan tak mengenakkan dengan Mas Ilham terjalin, namun tak ada yang berubah dengan situasi kami, ataupun perasaan mas Ilham terhadap Alif. Dia masih menjaga  jarak, masih menganggap Alif adalah bagian dari dekorasi di ruangan yang tak pantas mendapatkan porsi perhatiannya sedikitpun. Namun, aku tahu aku tak perlu berkecil hati. Alif bisa hidup dengan hanya mengandalkan cinta dariku. Tak ada yang perlu dirisaukannya.
                Namun, yang tak bisa kuhindari adalah situasi disaat Alif kambuh. Dia memberontak, mencoba membenturkan kepalanya ke tembok, menghempas badannya ke lantai. Dan di suatu ketika, ayahnya menyaksikan disaat anaknya kambuh. Tak ada kata yang terucap, tak jelas ekspresi yang dipahatnya dimukanya yang kaku. Dia terdiam, menatap dingin anaknya yang memberontak. Dan aku tak mungkin salah membaca makna suram yang disuratkannya di wajahnya yang kentara sekali jijik.
                “ Diam!” bentaknya.
                Aku melihat Alif berjengit sedikit mendengar bentakan ayahnya. Dan aku tak tahan lagi. Aku datang, melempar diriku kedalam bentangan tangan Alif yang tak dimaksudkannya untuk memelukku. Dia memberontak semakin menggila, mencoba menjauhkan aku dari tubuhnya. Dan aku menyerah dengan melepaskannya yang terisak semakin keras. Aku tahu dia ketakutan, aku ingin memeluknya, menegaskan kalau dia memiliki aku, kalau dia tak perlu merasa takut. Namun, aku tak bisa melakukan apapun selain melihat dia menjerit semakin keras. Dan puncak dari semua itu adalah ketika aku melihat, seperti dalam gerakan lambat, sepasang tangan memberenggutnya secara paksa. Kemudian, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara, dan menghempaskannya ke lantai. Dia mendarat dengan bunyi kedebug teredam, meningkahi jeritannya yang menyayat hati dan pekik-ku yang tak sempat meninggalkan garis bibirku.
                Mas Ilham telah turun tangan. Dia tampaknya tak tahan mendengar jeritan tak terkendali Alif dan isak putus asaku. Mungkin dia tertekan melihat anaknya yang mengamuk dan istrinya yang histeris. Namun aku tidak tahu, setan apa yang telah merasuki pikirannya sehingga dia tega menganiaya anak kandungnya sendiri. Aku tidak benar-benar paham apa yang terjadi, ketika akhirnya orang-orang mendatangi rumahku. Mereka tak lebih bayangan wajah yang sama sekali asing dan tak ramah. Aku seperti keluar dari tubuhku. Dan satu-satunya hal yang nyata dari semua itu hanyalah, Alif yang tergeletak tak bergerak dilantai. Dan jeritan yang urung meninggalkan tenggorokanku tertumpah sebentuk lolongan mengerikan ketika aku melihat cairan mengental merah keluar dari telinga, hidung serta mata anakku, membias diantara air matanya yang tak sempat berhenti mengalir.
                Dengan bantuan beberapa tetangga, Alif dilarikan ke rumah sakit dan langsung ditangani di ruang UGD. Malam-malam yang menggelayut setelahnya adalah setumpuk mimpi buruk tambahan buatku. Alif tak menunjukkan tanda-tanda akan sadar, dan samar-samar aku menangkap nada kepasrahan dalam setiap hela nafasnya yang ringkih. Aku menangis dalam bungkam. Aku tahu, anakku telah tersesat  semakin jauh mendekati ketiadaan, dan aku sadar, aku tak akan pernah mendengarnya memanggilku ibu.
Betapa ironi, ketika aku yang biasanya gigih mengharapkan keajaiban kini terpuruk menghadapi kenyataan yang jauh dari harapanku. Aku meninggalkan segalanya untuknya, untuk sosok rapuh yang terbaring tanpa merasa, yang ku tak tahu dimana jiwanya terpancang dalam damai. Aku berusaha menemukannya dalam ketersesatannya, berharap dia akhirnya akan menemukanku. Menggapaiku, memelukku.
Aku tahu, Alif masih disini, malah mungkin, akan senantiasa disini, dalam hatiku, orang yang merasakan cinta tak bersyarat terhadapnya. Namun, melihatnya tak bergerak, yang untuk bernafaspun membutuhkan alat bantu, aku kembali merasakan kesakitan yang tak terperi. Betapa tidak, malaikatku, buah hatiku, meregang nyawa didepanku, tanpa bisa kucegah. Kenapa bukan aku saja yang terbaring disana menggantikannya, merasakan kesakitannya, menjalani mimpi-mimpi buruknya. Mengapa bukan aku saja yang menggantikannya mati, karena aku jauh lebih takut ditinggalkannya daripada meninggalkannya.
Dari kabar yang berkembang disekitar, aku tahu si Penganiaya itu telah ditangkap. Dia ditangkap ketika mencoba lari dan bersembunyi. Namun, kabar itu tidak meningglkan bekas apapun dalam nuraniku. Apa bedanya? Alif tidak akan melompat bangun begitu mendengar Penyiksanya tertangkap. Sosok itu masih terdiam, masih menggelayutkan kesadarannya pada selang-selang infus yang menembus kulit pucatnya.
Mimpi burukku tak kunjung berakhir. Alif tak bergeming, dan dokter telah mengisyaratkan kepasrahan. Aku tak pernah bersedia untuk mendengar apayang terjadi kepadanya. Aku takut, jika penderitaannya menyiksaku seperti layaknya luka fisik, berdarah terus menerus. Namun, aku tahu, aku harus menghadapinya, supaya setelahnya aku bisa mencari secuil pembenaran kenapa semuanya terajdi. Mengapa waktu merenggut kebersamaan kami kedalam kehampaan seperti ini. Akupun mendengarkan ketika dokter menjelaskan keadaan terakhir anakku.
“ Bu, ketika dibawa ke rumah sakit ini, anak ibu mengalami pendarahan hebat di kepala bagian belakang. Dan ketika melihat keadaannya, kami sadar, tak ada lagi yang bisa kami lakukan.”
                Aku mengangguk. Aneh rasanya mendengar ini dan tidak merasakan apa-apa. Aku sepertinya hanya mengulang sebuah vonis yang sudah kuketahui akan terjadi. Mungkin ‘dia’ benar, bahwa selama ini aku hidup dengan menipu diri sendiri, bahwa aku menolak melihat kenyataan yang terjadi. Bahwa sudah saatnya aku menyerah pada nasib.
Malam-malam sesudahnya, tak ada air mata. Hatiku sudah kebas, tak sanggup menerima kepedihan yang lain. Keadaanku sudah melampaui batas meneteskan air mata, atau mungkin aku sudah menghabiskan persediaan air mata seumur hidupku. Aku hanya menemaninya, membacakan cerita untuknya, mengharapkan sebaris otot yang berkedut disudut matanya, atau bibirnya tertarik menggariskan sebaris senyum. Namun, dia tidak sadar, dia tidak merasa..
Hingga suatu malam..
Tak seperti malam-malam sebelumnya yang kelam dan berkabut, malam ini keadaannya sangat berbeda. Bintang-bintang bertaburan, awan menepi. Langit cerah sekali. aku ingat, ketika sehat, Alif sangat senang menunjuk-nunjuk bintang, berceloteh dalam bahasa yang tak kumengerti, sebelum akhirnya ‘hilang’ dalam pikirannya lagi. Dan malam ini, dia pasti akan senag menyaksikan bintang yang bertaburan menghias langit itu.
Ketika memasuki kamarnya, aku tak langsung tahu ada yang berubah. Aku melewatkannya, aku langsung menuju jendela dan membukanya, membawa sinar bintang-bintang ke ruangan itu. Dan ketika berbalik menghadapnya, aku bahkan menyangka kalau aku tengah bermimipi, ketika aku melihat sepasang mata menatapku.
Alif telah terbagun, dan kini menatapku. Aku tahu, aku tengah  bermimpi, tapi aku tidak mengeluh. Akan kurebut berapapun kesempatan memandang matanya, biarpun hanya dalam mimpi. Aku mendekatinya, dan aku semakin yakin dia hanya halusinasi, ketika aku tahu dia tidak berontak ketika kudekati, dan mengikutiku dengan pandangannya. Aku merengkuh tangannya dan dia membiarkannya. Aku mencium pipinya, dan dia merestuiku dengan pandangannya. Aku menatap matanya, mencoba menangkap sebanyak mungkin makna yang coba dipancarkannya. Dan ketika itulah aku menyadari, setitik air mata mengalir dari sepasang mata bening itu.
Apakah ini saatnya kerinduanku terbayarkan? Apakah sebuah mukjisad terjadi di malam berbintang ini, yang sesaat yang lalu kuyakini sebagai mimpi? Aku tak rela jika malam ini hanya mimpi. Aku menyerap kenyataan ini, merasakannya senyata mungkin, mengerahkan semua indera-ku, memastikan aku tak bermimpi. Dan ketika aku yakin, semuanya bukan mimpi, aku kembali menunduk menatap malaikatku.
Dan dia tak lagi meneteskan air mata, namun sudah mulai terisak. Air mata membanjiri bingkai-bingkai matanya, dan dengan sigap aku menghapusnya, membebaskannya dari kekaburan air mata  itu. Bibirnya bergetar perlahan, pandangannya berisi seribu ekspresi, tak hanya sekedar pandangan memohon. Aku merengkuhnya, memeluknya. Dan aku hampir tak percaya ketika kurasakan sebuah tangan ringkih membelai lembut punggungku. Dan itu tak berarti apa-apa ketika aku mendengar sebuah panggilan lirih di telingaku.
“ Mama…”
Aku mengangkat badanku dari atas tubuhnya, memastikan bahwa suaranya senyata sosoknya. Ketika bibir mungil itu kembali bergetar pelan dan menyenandungkan panggilannya akanku.
“ Mama..”
Air mataku membanjiri pipiku ketika, dengan susah payah, aku menyahutinya,
“ Mama disini sayang. Alif baik?”
Matanya terpejam sejenak. “ Sakit..” keluhnya.
Aku menggenggam tangannya. Dan, dengan lemah, kurasakan dia membalas genggaman tanganku.
“ Mama… sakit…”
“ Mama tahu sayang, sebentar lagi Alif sembuh.”
Genggamannya mengeras, matanya kembali terbuka. Beribu hal ingin disampaikannya lewat pandangannya yang penuh permohonan itu. Namun, aku tak bisa mengartikannya. Dia tahu, aku kebingungan. Maka dengan susah payah, dia kembali mencoba berbicara..
“ Mama, Alif sayang…”
Dan dengan pandangan penuh permohonan yang terakhir, dengan genggaman tangannya yang semakin kencang, dengan bibir yang bergetar sedikit, dia akhirnya terdiam. Sukmanya terbang diiringi setetes darah yang keluar lewat matanya yang terbuka. Bintang-bintang memantul di matanya yang telah padam dan tak melihat. Dan air mataku tak kunjung berhenti, menyaksikan anakku, yang sesaat kupikir telah kembali, malah pergi untuk selama-lamanya.
Kisahku telah tamat, dengan anakku yang telah pergi. Namun, kenapa aku masih menangis disini? Kenapa aku tidak ikut serta anakku yang terkubur itu? Kenapa aku malah dibiarkan diluar, sementara anakku ditinggalkan sendiri didalam sana? Siapa yang akan menemaninya disana? Dan kalau ada binatang yang menggigitnya nanti, apakah dia tidak akan ketakutan? Kalau dia lapar, siapa yang akan memberinya makan?
Aku berontak, mencoba mencegah mereka menutup lubang kelam itu dengan tanah. Aku tidak mau meninggalkan anakku disana seorang diri. Alif-ku, Alif-ku… namun, berpuluh-puluh pasang tangan yang kaku dan tak ramah menahanku. Mereka tak mengerti deritanya. Mereka, Mas Ilham, Ibunya, dan orang-orang ini, tak pernah benar-benar mengerti perasaan Alifku. Dan kini, mereka mencoba mencegahku menemani anakku sendiri. Betapa jahatnya!!
Alif..
Alif..
Kau membawa serta nafas dan hidup mama bersamamu.
Tak ada yang mama rasakan saat ini, karena hati mama telah mati bersamamu..
Alif,
Mama akan segera menyusulmu,
Tapi, sebelumnya akan mama pastikan,
Tidak akan ada lagi Alif-Alif yang lain,
Yang tak diharapkan, yang tak dimaksudkan ada..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar