honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Minggu, 12 Desember 2010

Maafkan Aku Ayah.. ( Karena Aku Wanita!!)


Maafkan aku ayah,

Jika dua puluh tahun silam, Bunda melahirkanku dengan keadaan yang tak bisa kau terima. Aku terlahir sebagai seorang perempuan, bukan laki-laki seperti yang selama beberapa tahun belakangan kau idam-idamkan. Kau kentara sekali kecewa, bahkan murka. Dan bunda, yang tak sanggup menerima murkamu, meninggal beberapa jam kemudian. Membawa pedih dan duka ke alam keabadian bersamanya. Belakangan ini aku berpikir, kenapa bunda tidak membawaku serta kala itu. Dengan begitu, mungkin saja aku akan lebih berbahagia, menghirup udara penuh cinta bersamanya di surga.

Maafkan aku ayah,

Jika hari-hari setelahnya, dengan segan kau terpaksa merawatku. Aku mengganggumu dengan tangisku di malam hari, memotong masa-masa yang mestinya kau gunakan untuk melepaskan penatmu di tempat tidur. Aku membuatmu bingung ketika lapar, karena kau tak pernah sanggup membeli sebotol susu untuk menyingkirkan dahaga yang menyerangku. Kau menyesal memiliki aku, aku tahu itu. Dan, aku tak mengeluh ayah, karena aku tahu, tak ada yang lebih menyesalinya selain aku.

Maafkan aku ayah,

Ketika beberapa tahun setelahnya, aku tumbuh menjadi gadis mungil yang manis. Beberapa orang menyayangiku, mencoba memenuhi paru-paruku dengan nafas cinta yang tak kunjung kudapatkan darimu. Namun, bagimu itu sama saja menegaskan kegagalanmu menciptakan seorang putra. Dengan berbagai cara, kau mencoba merubahku, menempaku agar aku melupakan bahwa aku adalah putrimu. Mencoba menanamkan sebuah memori asing dalam tengkorakku, bahwa aku adalah pemenuhan ambisi seorang manusia, yang  sangat  menginginkan seorang anak laki-laki. Melupakan fakta bahwa aku adalah karunia Tuhan, yang lebih berharga daripada ambisi hinanya sebagai manusia.

Maafkan aku ayah,
Ketika pada suatu hari, aku pulang dengan dahi berdarah. Seseorang mengata-ngataiku anak yang tak punya ibu. Dan aku sangat marah karenanya. Aku memukulnya tepat dihidungnya ayah, dan tahukah ayah, dia juga membalas menghajarku. Sampai kepalaku bocor, dan salah satu giginya tanggal, baru kami saling melepaskan diri. Ketika sampai di rumah, ayah ingat apa yang ayah lakukan? Ayah menanyaiku detil kejadiannya, mengacuhkan lukaku yang terus menerus mengeluarkan darah. Ayah lebih peduli kenyataan bahwa aku berhasil menanggalkan giginya daripada mengkhawatirkan aku  akan amnesia atau gegar otak. 

Maafkan aku ayah,

Ketika aku tak sanggup menghentikan usiaku yang bertambah, ketika fisikku berubah. Aku sendiri bingung ketika aku mendapati dadaku tak rata lagi. Dua ‘buah’ tumbuh disana. ‘buah’ yang akan terasa sakit sekali ketika tergencet. Lama sekali aku menyadari kalau itu adalah batas yang membedakan antara kenyataan dan ambisimu ayah. Baik aku ataupun ayah sama-sama tak bisa mencegah  hal semacam ini terjadi. Aku mungkin bisa melupakan siapa aku yang sebenarnya, namun tubuhku tak mungkin keliru mengenal dirinya sendiri. Ingatkah apa yang ayah lakukan saat mengetahui buah dadaku tumbuh? Ayah memaksaku mengenakan ‘stagen’ Bunda dibalik kausku, guna menyembunyikan ‘aib’ baru yang kuciptakan.

Maafkan aku ayah,

Ketika aku membuatmu gusar dengan sebuah kenyataan yang lain. Aku MENS. Darah merembes keluar lewat vaginaku, diiringi rasa nyeri yang tak terkira. Aku berusaha menyembunyikannya, karena aku adalah anak yang cerdas, yang cukup pandai membaca gelagat. Sebuah kenyataan yang akan mengingatkanmu akanku yang sebenarnya akan menyakitiku lebih dalam  dari sebelumnya. Namun apa lacur, kau tahu juga pada akhirnya. Kau melihat ceceran darah di seprei, dan sebuah pembalut bekas di kamar mandi pada suatu pagi, ketika aku dengan ceroboh lupa membuangnya. Dan ingatkah ayah apa yang ayah lakukan kepadaku? Ayah menyiksaku, siksaan yang paling parah yang pernah tercatat dalam memoriku. Ayah membantingku, seolah salahkulah aku mengalami hal ini. Ayah menjambak rambutku, seolah aku yang meminta rasa sakit ini. Tak bisakah ayah mengerti, bahwa pada saatnya ayah akan kalah oleh waktu. Setiap detik yang ayah buang dengan berpura-pura memiliki anak laki-laki terburai dengan sia-sia. Aku tidak mungkin bisa mengelak dari takdirku. Tapi, saat itu ayah tak mengerti. Tuli akan isakku, erang kesakitanku, ayah menendangku, memukulku dengan membabi buta. Aku tak pernah melupakan itu. Tak pernah.

Maafkan aku ayah,

Ketika pada puncaknya, kau memergokiku mengenakan mukena bunda. Aku sholat. Ya, pertama kalinya dalam hidupku aku menghadap Penciptaku dengan sempurna. Aku merasa penuh, aku merasa dilengkapi. Tempat-tempat yang kosong selama ini, yang hampa, seolah hangat terpenuhi oleh cinta. Cinta dari Tuhanku. Ya, aku merasakan cinta dariNya, ketika kurengkuh kedamaian dengan mukena Bunda yang lusuh. Namun, belum sempat aku menuntaskan kewajibanku, aku merasakan sepasang tangan yang kasar merenggut mukenaku lepas. Belum sempat aku pulih dari keterkejutanku, aku merasakan sebuah pukulan menghantam mukaku. Dari rasa hangat yang mengaliri pipiku, aku tahu dari tempat yang terkena hantaman tadi mengelir setetes darah. Namun, itu tidak seberapa dengan apa yang kuterima setelahnya.
Ayah menghajarku membabi buta. Menendangku, menampar mukaku, bahkan menghempaskan tubuhku ke lantai. Diatas itu semua, aku yang akhirnya menemukan suaraku berbisik lemah.
                “ Bunuh aku kalau begitu. Selesaikan ini, biar tuntas. Biar ayah puas..”
Ayah bergeming. Dengan raungan murka, kau mengambil bangku terdekat dan menghantamkannya ditubuhku. Aku yang tak sempat menghindar, merasakan kayu berat itu menindihku, dan kurasakan sakit yang tak terperih di rusukku. Kayu itu telah mematahkannya. Aku mencoba bangkit, namun tak ada yang bisa kulakukan lebih daripada berlutut di kakimu yang masih bergetar hebat oleh kemarahan Ayah.
                “ Kenapa,” bisikku. Aku mendongak menatapnya, dan pandanganku terkaburkan sesuatu yang aneh. Mataku kubuka lebar-lebar, dan sepotong warna mengisi kanvas penglihatanku. Warna merah pekat. Mataku penuh darah rupanya. “ Kenapa ayah tak membunuhku saja?” lanjutku.
ayah menamparku lagi.
                “ Kenapa ayah tidak mengijinkanku bersatu dengan bunda?”
Satu tamparan lagi menyahuti ucapanku.
                “ Cukup ayah..!” bentakku. Tanganmu yang telah melayang, membeku di udara. Aku mencoba bangkit. Dengan susah payah aku berdiri berhadap-hadapan denganmu. Ingatkah ayah? Ayah  memandangku seolah tak pernah bertemu denganku. Ayah  mungkin tak pernah menyangka aku akan melawan.
                “ Berapa lama waktu yang ayah butuhkan sampai ayah puas? Berapa lama waktu yang ayah butuhkan untuk menyadari bahwa aku adalah manusia? Aku anakmu ayah, bukan pelampiasan kemarahanmu akan anak lelaki yang tak bisa kau miliki. Aku puterimu ayah..” aku sengaja menekankan nada pada kata itu, biar ayah mengerti.
Namun, begitu mendengar kata puteri itu, ayah menjadi semakin kalap. Ayah merenggut belakang kepalaku, mendorongnya ke depan dan menghantam cermin. Ingat kan ayah? Aku bagai menyaksikan dalam gerakan lambat ketika serpihan pecahan cermin itu menghiasi lantai. Aku bahkan bisa merasakannya kembali, ketika kurasakan pecahan-pecahan kaca itu menembus telapak kakiku yang telanjang. Tak puas dengan itu semua, tak puas dengan aku yang sudah tak berbentuk dan terkaburkan oleh darah, ayah menuju ke belakang dapur, mengambil selang air. Ayah tahu, apa yang kurasakan? Aku muak! Muak dengan setan yang mendominasi hatimu. Aku muak dengan sakit yang telah kuakrabi ini. Aku muak ayah, hingga tanpa bisa kucegah, aku menjerit sekuatnya.
                “ AAAAAAAAAAAAAARGH……..!!!!”
Kau kembali dalam murkamu, memukulku kuat-kuat dengan selang air itu. Kurasakan panas merajai tempat yang kau pukul. Rasanya aneh, sakit terasa lambat merayapi. setelah  kusadar sakitnya terasa, aku menjerit semakin keras, menumpahkan jeritan yang selama ini kutahan. Dan ketika aku melihat kakiku yang baru saja kau pukul, aku melihat sebaris daging telah meninggalkan kakiku. Darah merembes seperti dituangkan begitu saja ke lantai. Aku sakit ayah, tak sadarkah kau? Tapi apa yang kau lakukan, kau memukulku, seperti setan, kau lupa mendengarkan jeritanku ayah,kau lupa menyadari betapa aku kesakitan. Kau lupa ayah, betapa aku mendambakan mati saat itu. Ayah, kenapa ayah lupa..?
Tapi, aku tidak lupa. Aku tidak lupa bahwa ayah harus berhenti, bahwa sudah saatnya ayah berhenti. Aku berontak ayah, tak peduli betapa nyeri seluruh badanku. Dan, aku melihat disana, sebuah wajah mengerikan yang tersenyum dalam kemenangan, tepat ditengah-tengah dadamu. Apakah kau tak mengerti ayah, apakah kau tak pernah sadar, kalau selama ini sesuatu itu telah menggelayutimu sekian lama. Aku harus membebaskanmu. harus.
Kemudian, aku melihatnya. Berkilauan di atas lantas, pecahan kaca yang telah kupisahkan dari bingkainya dengan kepalaku. Aku memungutnya, dia adalah pengharapan terakhirku. Dengan tangan bergetar namun kokoh, aku menusukkannya ke dadamu.
Aku melihatmu membeku. Wajahmu pias ketakutan. Jangan takut padaku ayah, bisikku saat itu. Ingat ayah, aku memelukmu ketika berulang kali aku menusukkan kaca itu kedadamu yang didiami setan. Kau berontak, tapi aku menguncimu dalam pelukanku. Aku menyayangimu ayah, aku tak rela mahluk itu membuatmu lupa akanku. Aku akan membebaskanmu. Dan aku terus menusukmu, terus, terus… sampai kau tak merasa lagi. Namun, aku tak berhenti.
Dan, kudapati matamu membelalak tanpa melihat. Apa ini ayah, kenapa kau masih ketakutan? Tak sadarkah kau, bahwa baru saja aku membebaskanmu dari setan yang selama ini mendiami hatimu. Namun, kau masih takut padaku, anakmu yang telah berbaik hati padamu. Kau harus senyum ayah. Senyum! Namun, aku melihatmu tetap membeku dalam ekspresi ketakutan yang abadi.
Dan, segera saja aku menemukan solusinya. Kau telah mati. Kau tak bisa senyum lagi. Bukan salahku ayah, kau memilih mati bersama setan itu, padahal aku tak pernah bermaksud seperti itu. Namun, bukan berarti kau tak bisa tersenyum. Aku bisa membuatmu tersenyum. Dengan mantap aku mengambil kembali pecahan kaca yang tlah menjadi vonismu malam ini, dan mulai menorehkan sebentuk senyuman dibibirmu yang terbuka.
Sempurna. Aku akhirnya melihatmu tersenyum. Aku bahkan merasakan senyummu begitu hidup. Ayah, kenapa tak kusadari sedari dulu? Mengapa tak ku mengerti bahwa ayahku menyayangiku? Mengapa ayah berbuat kejam,karena setan itu. Dan, sekarang ayah telah bebas. Bebas untuk selama-lamanya…
Kemudian, kudapati diriku dikerumuni orang-orang yang sama sekali asing. Mereka menunjuk-nunjuk mukaku, sebagian mendekap mulut dan menjerit. Samar-samar, suara mereka menembus kebisingan semu gendang telingaku.
                “ Lihat mukanya! Ya ampun..”
                “ Dia  membunuh  ayahnya?”
                “ Bukan, dia disiksa..”
Dan aku menyaksikan ketika jasadmu dibawa keluar ayah, dan seorang yang berseragam menjijikan memakaikan sesuatu di tanganku, mungkin gelang. Hadiah akan keberhasilanku membebaskanmu mugkin ayah? Entahlah..
Aku dibawah ke entah apa. Aku menjalani hari-hari penuh damaiku disana. Dan ku tahu, kau tengah damai di surga ayah, bersama Bunda yang telah menunggu lama. Nah, sekarang kau mengerti kan Ayah, betapa banyak yang telah ku perbuat untukmu dalam satu malam. Aku telah menghentikanmu menyakitiku, yang kau lakukan dengan tidak sadar, aku juga telah membunuh setan yang mendiami hatimu tanpa kau sadari, dan aku telah menyatukanmu kembali dengan Bunda, cinta sejatimu.

Maafkan aku ayah,
Jika aku telah menunda terlalu lama. Maafkan aku ayah, yang harus menderita dan terbenam dalam kubang  dendam. Maafkan aku ayah, yang telah kau siksa hampir seumur hidupku. Maafkan aku yang malam ini menghidupkanmu dalam benakku kembali. Dan sekarang, kau benar-benar ada.
Kau terlihat begitu nyata, berdiri kaku disudut ruanganku. Kau terlihat mengerikan. Kenapa lagi ayah? Aku tidak memakai mukena lagi, dan bukan salahku jika disini aku tidak pernah berkelahi, karena disini tidak ada laki-laki. Kau tak akan mau aku menyakiti perempuan kan? Kenapa ayah, jangan memandangiku seperti itu.
Kau mendekatiku, mencekal tanganku kasar. Ada apa ayah? Kenapa, apa salahku?
                ikut!!!”
Tidak!! Aku tidak akan kemana-mana!! Tidak ayah, jangan siksa aku lagi.. jangan ayah..
Tapi, kau tetap menarikku.. kemana ayah.. lepaskan ayah.. LEPAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSSS!!!!


SELESAI DI TENGAH MALAM
Buat ayah,
Maaf jika aku menyiksamu dengan menghidupkan
Kembali ingatanku malam ini..

2 komentar: