honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Rabu, 15 Desember 2010

Home Sweet Home...


semua orang pasti punya rumah idaman....
tempat mereka akan menghabiskan hari-hari mereka, tempat anak-anak mereka akan lahir, tumbuh besar dan berkembang...
tempat mereka akan merangkai suka dan duka,
menjadi selembar kisah yang akan mengisi buku Perjalanan Hidup..

suka dan duka dalam memperjuangkan rumah idaman adalah cambuk penggerak semangat untuk senantiasa hidup...

namun, ketika harapan tak lebih nyata dari mimpi?????

teruslah bermimpi... karena suatu saat,
kamu akan bangun dengan mimpi yang sudah menjadi kenyataaan.... Selengkapnya...

Selasa, 14 Desember 2010

Ketika Senja Berlabuh Di Kerandangan


Matahari mulai letih. Dengan lemas, ditinggalkannya singgasana yang seharian itu telah dengan gagah dirajainya. Sinarnya meredup ketika dengan gundah senja pamit pada pucuk-pucuk pohon kelapa menunggu malam menjemputnya pergi.

Seorang cowok terlihat tengah merekam sunsets sore itu dengan mata jelinya. Hela demi hela nafas telah dilepasnya bebas, mengharap bebannya serta luruh terbuang dalam helaan nafasnya itu. Namun semakin dipaksakan, dia merasa dadanya semakin berat menyanggah masalah yang menyesak di sana. Kenapa masalah harus timbul sekarang? Setelah dia memutuskan untuk menyerahkan hatinya pada seorang wanita?
Selengkapnya...

BUKU

 
aku berharap menjadi buku kosong..
yang masih baru..
dan tak ada yang mau membeli...

tak ada coretan jalan hidup yang rumit..
tak ada kalimat-kalimat penyesalan yang menyesakkan...
yang ada hanyalah garis-garis di kertas putih.. yang menunggu, tanpa perlu terburu-buru...
aku ingin menjadi buku baru...
dimana tak ada air mata,
juga tak usah ada senyuman, ketika bahagia palsu hendak menipu...

aku ingin menjadi buku baru...
yang sendiri, beku, dan tak merasa.....



Selengkapnya...

Renungan ( Kuingin, Esok Tak Usah Tiba)


tafakurku....
semoga esok tak usah tiba....
mengulur detik, hingga kau lupakan hadirku...
hanya menunggu, tanpa ada kosa....


bergulir...
inginku lepas dari nafas kehidupan...
namun, ku takluk akan hadimu...
engkaulah, awal dan akhirku..
meranggas rinduku, tanpa engkau sadari...
dengan hati basah oleh air mata...
bercumbu mesra pada jarak yang tak terpeta...
tak terlapisi sekat mimpi atau nyata...


esok....
dikala awal kehidupan kembali bermula.....
bahagia akan pergi...
kenangan akan berlipat di sudut...


kuingin, esok tak usah tiba......  Selengkapnya...

Senin, 13 Desember 2010

ALIF



Suatu pagi di bulan april..
Tangisnya memecah kesunyian pagi, seolah mengoyak sunyi yang bersenandung. Sedannya terasa sangat menyiksa setiap insan yang mendengarnya. Dia seolah menggertak pagi yang membekukan, atau mungkin takut dengan dingin itu. Yang pasti, kehadirannya kuiringi dengan air mata bahagiaku. Aku begitu gembira, hingga rasa sakit yang mendera terasa pias. Kutatap wajah suamiku tercinta, memastikan rona bahagia yang ada disana. Dan dia tengah menatap buah cinta kami dengan beruraiair mata.
Selengkapnya...

Minggu, 12 Desember 2010

5 CINTA


“ Aku punya lima,” tandasku di tengah protesnya. “ Kalau kamu maksa, mendingan nanya ke orang yang lain aja deh.”
                “ Jangan gitu dong, Fan. Aku tahunya Cuma kamu yang punya pengalaman cinta yang unik,” ujarnya masih mencoba merayuku. Aku tersenyum kecil dan bersyukur dia tidak bisa melihat senyumku, karena aku tahu dia pasti akan merasa menang melihat aku melunak.
Selengkapnya...

Maafkan Aku Ayah.. ( Karena Aku Wanita!!)


Maafkan aku ayah,

Jika dua puluh tahun silam, Bunda melahirkanku dengan keadaan yang tak bisa kau terima. Aku terlahir sebagai seorang perempuan, bukan laki-laki seperti yang selama beberapa tahun belakangan kau idam-idamkan. Kau kentara sekali kecewa, bahkan murka. Dan bunda, yang tak sanggup menerima murkamu, meninggal beberapa jam kemudian. Membawa pedih dan duka ke alam keabadian bersamanya. Belakangan ini aku berpikir, kenapa bunda tidak membawaku serta kala itu. Dengan begitu, mungkin saja aku akan lebih berbahagia, menghirup udara penuh cinta bersamanya di surga.

Maafkan aku ayah,

Jika hari-hari setelahnya, dengan segan kau terpaksa merawatku. Aku mengganggumu dengan tangisku di malam hari, memotong masa-masa yang mestinya kau gunakan untuk melepaskan penatmu di tempat tidur. Aku membuatmu bingung ketika lapar, karena kau tak pernah sanggup membeli sebotol susu untuk menyingkirkan dahaga yang menyerangku. Kau menyesal memiliki aku, aku tahu itu. Dan, aku tak mengeluh ayah, karena aku tahu, tak ada yang lebih menyesalinya selain aku.

Maafkan aku ayah,

Ketika beberapa tahun setelahnya, aku tumbuh menjadi gadis mungil yang manis. Beberapa orang menyayangiku, mencoba memenuhi paru-paruku dengan nafas cinta yang tak kunjung kudapatkan darimu. Namun, bagimu itu sama saja menegaskan kegagalanmu menciptakan seorang putra. Dengan berbagai cara, kau mencoba merubahku, menempaku agar aku melupakan bahwa aku adalah putrimu. Mencoba menanamkan sebuah memori asing dalam tengkorakku, bahwa aku adalah pemenuhan ambisi seorang manusia, yang  sangat  menginginkan seorang anak laki-laki. Melupakan fakta bahwa aku adalah karunia Tuhan, yang lebih berharga daripada ambisi hinanya sebagai manusia.

Maafkan aku ayah,
Ketika pada suatu hari, aku pulang dengan dahi berdarah. Seseorang mengata-ngataiku anak yang tak punya ibu. Dan aku sangat marah karenanya. Aku memukulnya tepat dihidungnya ayah, dan tahukah ayah, dia juga membalas menghajarku. Sampai kepalaku bocor, dan salah satu giginya tanggal, baru kami saling melepaskan diri. Ketika sampai di rumah, ayah ingat apa yang ayah lakukan? Ayah menanyaiku detil kejadiannya, mengacuhkan lukaku yang terus menerus mengeluarkan darah. Ayah lebih peduli kenyataan bahwa aku berhasil menanggalkan giginya daripada mengkhawatirkan aku  akan amnesia atau gegar otak. 

Maafkan aku ayah,

Ketika aku tak sanggup menghentikan usiaku yang bertambah, ketika fisikku berubah. Aku sendiri bingung ketika aku mendapati dadaku tak rata lagi. Dua ‘buah’ tumbuh disana. ‘buah’ yang akan terasa sakit sekali ketika tergencet. Lama sekali aku menyadari kalau itu adalah batas yang membedakan antara kenyataan dan ambisimu ayah. Baik aku ataupun ayah sama-sama tak bisa mencegah  hal semacam ini terjadi. Aku mungkin bisa melupakan siapa aku yang sebenarnya, namun tubuhku tak mungkin keliru mengenal dirinya sendiri. Ingatkah apa yang ayah lakukan saat mengetahui buah dadaku tumbuh? Ayah memaksaku mengenakan ‘stagen’ Bunda dibalik kausku, guna menyembunyikan ‘aib’ baru yang kuciptakan.

Maafkan aku ayah,

Ketika aku membuatmu gusar dengan sebuah kenyataan yang lain. Aku MENS. Darah merembes keluar lewat vaginaku, diiringi rasa nyeri yang tak terkira. Aku berusaha menyembunyikannya, karena aku adalah anak yang cerdas, yang cukup pandai membaca gelagat. Sebuah kenyataan yang akan mengingatkanmu akanku yang sebenarnya akan menyakitiku lebih dalam  dari sebelumnya. Namun apa lacur, kau tahu juga pada akhirnya. Kau melihat ceceran darah di seprei, dan sebuah pembalut bekas di kamar mandi pada suatu pagi, ketika aku dengan ceroboh lupa membuangnya. Dan ingatkah ayah apa yang ayah lakukan kepadaku? Ayah menyiksaku, siksaan yang paling parah yang pernah tercatat dalam memoriku. Ayah membantingku, seolah salahkulah aku mengalami hal ini. Ayah menjambak rambutku, seolah aku yang meminta rasa sakit ini. Tak bisakah ayah mengerti, bahwa pada saatnya ayah akan kalah oleh waktu. Setiap detik yang ayah buang dengan berpura-pura memiliki anak laki-laki terburai dengan sia-sia. Aku tidak mungkin bisa mengelak dari takdirku. Tapi, saat itu ayah tak mengerti. Tuli akan isakku, erang kesakitanku, ayah menendangku, memukulku dengan membabi buta. Aku tak pernah melupakan itu. Tak pernah.

Maafkan aku ayah,

Ketika pada puncaknya, kau memergokiku mengenakan mukena bunda. Aku sholat. Ya, pertama kalinya dalam hidupku aku menghadap Penciptaku dengan sempurna. Aku merasa penuh, aku merasa dilengkapi. Tempat-tempat yang kosong selama ini, yang hampa, seolah hangat terpenuhi oleh cinta. Cinta dari Tuhanku. Ya, aku merasakan cinta dariNya, ketika kurengkuh kedamaian dengan mukena Bunda yang lusuh. Namun, belum sempat aku menuntaskan kewajibanku, aku merasakan sepasang tangan yang kasar merenggut mukenaku lepas. Belum sempat aku pulih dari keterkejutanku, aku merasakan sebuah pukulan menghantam mukaku. Dari rasa hangat yang mengaliri pipiku, aku tahu dari tempat yang terkena hantaman tadi mengelir setetes darah. Namun, itu tidak seberapa dengan apa yang kuterima setelahnya.
Ayah menghajarku membabi buta. Menendangku, menampar mukaku, bahkan menghempaskan tubuhku ke lantai. Diatas itu semua, aku yang akhirnya menemukan suaraku berbisik lemah.
                “ Bunuh aku kalau begitu. Selesaikan ini, biar tuntas. Biar ayah puas..”
Ayah bergeming. Dengan raungan murka, kau mengambil bangku terdekat dan menghantamkannya ditubuhku. Aku yang tak sempat menghindar, merasakan kayu berat itu menindihku, dan kurasakan sakit yang tak terperih di rusukku. Kayu itu telah mematahkannya. Aku mencoba bangkit, namun tak ada yang bisa kulakukan lebih daripada berlutut di kakimu yang masih bergetar hebat oleh kemarahan Ayah.
                “ Kenapa,” bisikku. Aku mendongak menatapnya, dan pandanganku terkaburkan sesuatu yang aneh. Mataku kubuka lebar-lebar, dan sepotong warna mengisi kanvas penglihatanku. Warna merah pekat. Mataku penuh darah rupanya. “ Kenapa ayah tak membunuhku saja?” lanjutku.
ayah menamparku lagi.
                “ Kenapa ayah tidak mengijinkanku bersatu dengan bunda?”
Satu tamparan lagi menyahuti ucapanku.
                “ Cukup ayah..!” bentakku. Tanganmu yang telah melayang, membeku di udara. Aku mencoba bangkit. Dengan susah payah aku berdiri berhadap-hadapan denganmu. Ingatkah ayah? Ayah  memandangku seolah tak pernah bertemu denganku. Ayah  mungkin tak pernah menyangka aku akan melawan.
                “ Berapa lama waktu yang ayah butuhkan sampai ayah puas? Berapa lama waktu yang ayah butuhkan untuk menyadari bahwa aku adalah manusia? Aku anakmu ayah, bukan pelampiasan kemarahanmu akan anak lelaki yang tak bisa kau miliki. Aku puterimu ayah..” aku sengaja menekankan nada pada kata itu, biar ayah mengerti.
Namun, begitu mendengar kata puteri itu, ayah menjadi semakin kalap. Ayah merenggut belakang kepalaku, mendorongnya ke depan dan menghantam cermin. Ingat kan ayah? Aku bagai menyaksikan dalam gerakan lambat ketika serpihan pecahan cermin itu menghiasi lantai. Aku bahkan bisa merasakannya kembali, ketika kurasakan pecahan-pecahan kaca itu menembus telapak kakiku yang telanjang. Tak puas dengan itu semua, tak puas dengan aku yang sudah tak berbentuk dan terkaburkan oleh darah, ayah menuju ke belakang dapur, mengambil selang air. Ayah tahu, apa yang kurasakan? Aku muak! Muak dengan setan yang mendominasi hatimu. Aku muak dengan sakit yang telah kuakrabi ini. Aku muak ayah, hingga tanpa bisa kucegah, aku menjerit sekuatnya.
                “ AAAAAAAAAAAAAARGH……..!!!!”
Kau kembali dalam murkamu, memukulku kuat-kuat dengan selang air itu. Kurasakan panas merajai tempat yang kau pukul. Rasanya aneh, sakit terasa lambat merayapi. setelah  kusadar sakitnya terasa, aku menjerit semakin keras, menumpahkan jeritan yang selama ini kutahan. Dan ketika aku melihat kakiku yang baru saja kau pukul, aku melihat sebaris daging telah meninggalkan kakiku. Darah merembes seperti dituangkan begitu saja ke lantai. Aku sakit ayah, tak sadarkah kau? Tapi apa yang kau lakukan, kau memukulku, seperti setan, kau lupa mendengarkan jeritanku ayah,kau lupa menyadari betapa aku kesakitan. Kau lupa ayah, betapa aku mendambakan mati saat itu. Ayah, kenapa ayah lupa..?
Tapi, aku tidak lupa. Aku tidak lupa bahwa ayah harus berhenti, bahwa sudah saatnya ayah berhenti. Aku berontak ayah, tak peduli betapa nyeri seluruh badanku. Dan, aku melihat disana, sebuah wajah mengerikan yang tersenyum dalam kemenangan, tepat ditengah-tengah dadamu. Apakah kau tak mengerti ayah, apakah kau tak pernah sadar, kalau selama ini sesuatu itu telah menggelayutimu sekian lama. Aku harus membebaskanmu. harus.
Kemudian, aku melihatnya. Berkilauan di atas lantas, pecahan kaca yang telah kupisahkan dari bingkainya dengan kepalaku. Aku memungutnya, dia adalah pengharapan terakhirku. Dengan tangan bergetar namun kokoh, aku menusukkannya ke dadamu.
Aku melihatmu membeku. Wajahmu pias ketakutan. Jangan takut padaku ayah, bisikku saat itu. Ingat ayah, aku memelukmu ketika berulang kali aku menusukkan kaca itu kedadamu yang didiami setan. Kau berontak, tapi aku menguncimu dalam pelukanku. Aku menyayangimu ayah, aku tak rela mahluk itu membuatmu lupa akanku. Aku akan membebaskanmu. Dan aku terus menusukmu, terus, terus… sampai kau tak merasa lagi. Namun, aku tak berhenti.
Dan, kudapati matamu membelalak tanpa melihat. Apa ini ayah, kenapa kau masih ketakutan? Tak sadarkah kau, bahwa baru saja aku membebaskanmu dari setan yang selama ini mendiami hatimu. Namun, kau masih takut padaku, anakmu yang telah berbaik hati padamu. Kau harus senyum ayah. Senyum! Namun, aku melihatmu tetap membeku dalam ekspresi ketakutan yang abadi.
Dan, segera saja aku menemukan solusinya. Kau telah mati. Kau tak bisa senyum lagi. Bukan salahku ayah, kau memilih mati bersama setan itu, padahal aku tak pernah bermaksud seperti itu. Namun, bukan berarti kau tak bisa tersenyum. Aku bisa membuatmu tersenyum. Dengan mantap aku mengambil kembali pecahan kaca yang tlah menjadi vonismu malam ini, dan mulai menorehkan sebentuk senyuman dibibirmu yang terbuka.
Sempurna. Aku akhirnya melihatmu tersenyum. Aku bahkan merasakan senyummu begitu hidup. Ayah, kenapa tak kusadari sedari dulu? Mengapa tak ku mengerti bahwa ayahku menyayangiku? Mengapa ayah berbuat kejam,karena setan itu. Dan, sekarang ayah telah bebas. Bebas untuk selama-lamanya…
Kemudian, kudapati diriku dikerumuni orang-orang yang sama sekali asing. Mereka menunjuk-nunjuk mukaku, sebagian mendekap mulut dan menjerit. Samar-samar, suara mereka menembus kebisingan semu gendang telingaku.
                “ Lihat mukanya! Ya ampun..”
                “ Dia  membunuh  ayahnya?”
                “ Bukan, dia disiksa..”
Dan aku menyaksikan ketika jasadmu dibawa keluar ayah, dan seorang yang berseragam menjijikan memakaikan sesuatu di tanganku, mungkin gelang. Hadiah akan keberhasilanku membebaskanmu mugkin ayah? Entahlah..
Aku dibawah ke entah apa. Aku menjalani hari-hari penuh damaiku disana. Dan ku tahu, kau tengah damai di surga ayah, bersama Bunda yang telah menunggu lama. Nah, sekarang kau mengerti kan Ayah, betapa banyak yang telah ku perbuat untukmu dalam satu malam. Aku telah menghentikanmu menyakitiku, yang kau lakukan dengan tidak sadar, aku juga telah membunuh setan yang mendiami hatimu tanpa kau sadari, dan aku telah menyatukanmu kembali dengan Bunda, cinta sejatimu.

Maafkan aku ayah,
Jika aku telah menunda terlalu lama. Maafkan aku ayah, yang harus menderita dan terbenam dalam kubang  dendam. Maafkan aku ayah, yang telah kau siksa hampir seumur hidupku. Maafkan aku yang malam ini menghidupkanmu dalam benakku kembali. Dan sekarang, kau benar-benar ada.
Kau terlihat begitu nyata, berdiri kaku disudut ruanganku. Kau terlihat mengerikan. Kenapa lagi ayah? Aku tidak memakai mukena lagi, dan bukan salahku jika disini aku tidak pernah berkelahi, karena disini tidak ada laki-laki. Kau tak akan mau aku menyakiti perempuan kan? Kenapa ayah, jangan memandangiku seperti itu.
Kau mendekatiku, mencekal tanganku kasar. Ada apa ayah? Kenapa, apa salahku?
                ikut!!!”
Tidak!! Aku tidak akan kemana-mana!! Tidak ayah, jangan siksa aku lagi.. jangan ayah..
Tapi, kau tetap menarikku.. kemana ayah.. lepaskan ayah.. LEPAAAAAAAAAAAAAAAASSSSSSSS!!!!


SELESAI DI TENGAH MALAM
Buat ayah,
Maaf jika aku menyiksamu dengan menghidupkan
Kembali ingatanku malam ini..
Selengkapnya...

Cinta Yang Tak Ter-Update


Aku menangis di pojok kamar mandi, berusaha tak mengeluarkan suara. Ada terlalu banyak rasa sakit, dan tak satupun yang bisa teridentifikasi. Aku marah, itu menimbulkan rasa sakit. Aku sedih, itu juga banyak menimbulkan rasa sakit. Aku benci, juga menimbulkan kesakitan batin. Aku kecewa….dan rasa kecewa bahkan lebih menyakitkan dari semuanya….
                Seandainya hidup tak begitu rumit. Seandainya saja aku kupu-kupu, yang siklus hidupnya berputar antara telur, ulat, kepompong, dan kupu-kupu. Tanpa perlu merasa, tanpa perlu berpikir. Tanpa perlu menyesali jalan kehidupan yang jelas-jelas tidak bisa terulang kembali.
                Aku masih sangat  muda, tapi aku sudah bosan hidup…


Wall, aku meng-kliknya.
Ada banyak pemberitahuan terbaru. Aku membaca satu persatu.
Ncha Hamzach menulis di dinding OvhyOvhie
Ncha Hamzach mengomentari status Nina LophWan
Ncha Hamzach mengomentari foto Ais Hamzah
17 kabar serupa…
                17 kabar serupa!!! Bayangkan saja!!! Semalaman dia tidak tidur hanya untuk mengomentari status konyol teman2nya yang kebanyakan ABG itu.. dan aku yakin, dia juga tidak ingat hari apa hari ini..
Facebook. Sebuah kata yang sangat sederhana, namun kehadirannyamembawa dampak yang sangat tak sederhana. Ada yang bilang situs tersebut sangat ampuh, seperti master ilmu-ilmu gaib. Betapa tidak? Bayangkan, Facebook bisa membuat orang jauh terasa sangat dekat, dan menjadikan orang yang tadinya sangat dekat terasa sangat jauh. Itulah yang sedang kurasakan sekarang. Orang yang dulunya begitu dekat, orang , yang padanya kubagi semua keluh kesah,tempatku bertukar kisah sehari-hari, kini bagaikan lenyap ditelan isu facebook ini.
Suamiku bukan orang yang roamntis,  juga bukan orang yang perhatian. Namun, sekaku-kakunya dia, dia pasti akan menanyakan apa saja yang kukerjakan seharian ketika dia tak ada di rumah. Dan di momen2 sepulangnya kerja adalah momen2 yang sangat kurindukan setiap hari. Pada saat itulah aku dan suami berbincang, mengobrol, asik sekali..
Namun, hhh….
Aku senang dia bisa mengekspresikan dirinya dengan lebih baik melalui akun tersebut. Namun, aku sangat berharap dia ‘ada’ buat aku. Namun, dia merasa perasaanku bukanlah sesuatu yang penting. Dia merasa aku terlalu kekanakan, yang tidak perlu diperhatikan. Aku hanya ingin dia memperbarui cintanya tiap hari, dengan sekedar mengucapkan ‘I love you’ setiap hari. Aku ingin dia seperti dulu lagi,, hanya itu….
Mungkin memang ‘itu’ telah menguap…jadi dia tidak bersusah payah meng-update-nya lagi.. karena memang tidak ada lagi yang perlu di-update.. haruskah aku menyesalinya???
TIDAK!!!
Hanya pecundang yang tahan hidup berlipur sesal, kata seseorang… namun, salahkah jika saat ini aku sangat merindukan masa lalu?? Dimana aku bisa dengan bebas menangis dan kembali, dapat memencet ikon “undo” kapanpun aku mau.. mengubah keadaan ke awal lagi,  menjalaninya tanpa perlu menyesal lagi… saat dimana aku bisa dengan bebas memeluk Ibu dan mengadu.. saat-saat yang kini telah hilang…
Aku adalah tokoh utamanya sekarang. Tak ada yang bisa menyemangatiku sebaik diriku sendiri, tak ada yang bisa menyakitiku seburuk diriku sendiri, tak ada yang bisa dengan kokoh  menopang tubuh lunglaiku selain diriku sendiri—walaupun dulu ada yang berjanji untuk itu. Namun, ada kalanya ketika aku merasa SANGAT sendirian. Aku jengah mencoba berbagi, karena semua yang mendengar akan selalu berpendapat aku yang salah. Aku merasa kesakitan, ini adalah hal wajib yang tak akan pernah terpisahkan dari kehidupanku sekarang. Mungkin, aku harus membiasakan diri dengan rasa sakit itu. Mungkin malah, aku harus ‘bersahabat’ dengannya…
Ada seseorang dari masa lalu yang kemudian datang kembali, begitu hangat, begitu baik, sebaik dirinya dalam anganku. Hatiku hangat setiap kali memikirkannya. Dia seperti seorang kakak yang tiba-tiba muncul begitu saja, seorang kakak yang sedari dulu ku impi-impikan. Kepadanya aku bisa dengan mudah membagi bebanku. Dengannya aku bisa dengan mudah membagi kesakitan ini. Aku tidak pernah bisa mengucapkan betapa berarti setiap kosa yang diucapkannya. Namun, aku tahu dia mengerti.
Suamiku kini begitu asing, begitu jauh, dan sama sekali tak berkeinginan untuk mendekatkan diri. Hanya doa, agar aku tetap HIDUP demi anakku, yang membuatku selalu kuat, dan mampu untuk melakukan semuanya, sesulit apapun itu. Bahkan, bernafas terasa kembali wajar…..
Sudahkan anda meng-update status anda hari ini??????
Selengkapnya...

Senin, 06 Desember 2010

ketika cinta tak lagi 'bergelora'

3 tahun. hanya tiga tahun yang diperlukan untuk saling membenci satu sama lain. Yang membuatku sangat sakit, hanya tiga tahun yang dia perlukan untuk berhenti mencintaiku. Bertolak belakang dengan janjinya yang akan senantiasa menjadikan saya cinta seumur hidupnya.. bahwa tidak akan ada perempuan lain yang akan lebih cantik dibandingkan saya..hhhh.. laki-laki...
dalam masa-masa mendatang akan sangat mengganggu membaca ini semua..tapi, aku berjanji tidak akan melewatkannya. Selengkapnya...

MENIKAH... WAH!!!!!


Ketika pertama kali suami melamar, saya serasa di ujung nirwana. Bagi wanita seperti saya tak ada kata sesempurna pernikahan, padahal bayangannya dalam benak saya hanya serupa lukisan abstrak seorang pelukis amatir. Namun, kita senantiasa penasaran dengan sesuatu yang baru, bukan?
hari ketika kami  mengucap janji setia sehidup semati, dalam pikiran saya masih belum tersketsa jelas bagaimana sesungguhnya kehidupan kami setelah pernikahan kami. Benak saya masih dipenuhi pikiran-pikiran tentang hal-hal sepeleh, yang sampai sekarang masih membuat saya mendengus bila mengingatnya. Hal-hal seperti – semoga suami saya tidak tertawa membaca ini. Saya tidak berani  menduga apa komentarnya jika dia tahu apa isi pikiran saya di hari pertama pernikahan.—betapa tampannya lelaki yang baru saja mengikrarkan janjinya membahagiakan saya seumur hidupnya kepada Ayah saya. Betapa sempurna setiap lekukan tubuhnya, setiap garis siluet sosoknya. Masya Allah, betapa Tuhan telah amat sangat baik hati – sekaligus mungkin sedikit ‘mengejek’ saya—dengan mengirim manusia amat sangat sempurna itu untuk menikahi saya pada hari itu.
Ketika duduk bersanding di pelaminan sederhana di hari itu, mataku seakan tak lelah memandangnya, dengan diam-diam tentu saja. Kemudian, angan-angan itu memasuki bagian otak kiri saya. Ah, jangan buat saya terlihat sangat konyol dengan mengakui hal ini. Namun, tak apalah saya mengakuinya. Toh, saya juga memang mengalaminya. Dan bagi saya itu sangat manusiawi. Saya membayangkan ‘malam pertama ‘ kami. Saya tidak ingin terlihat begitu  polos dengan menulis kalau selama pacaran, saya tidak pernah bercumbu dengan suami, namun tanpa bisa saya  cegah, angan-angan indah penuh gelora gairah itu membayang di pelupuk mata. Sayang, maafkan istrimu ini………^_^
Sampailah kita di bagian paling ujung dari fantasi saya saat pernikahan hanya serupa prediksi. Malam pertama kami berlangsung sangat ‘sepi’. Tidak banyak bicara, tidak banyak bertanya, namun setiap gerakan, setiap perbuatan, meninggalkan sejuta kesan yang bahkan sampai sekarang belum bisa saya lupakan. Pertama kali dia mengucap ikrar akan mencintai jiwa dan raga saya, saat dia mengatakan bahwa dia telah menikahi bukan hanya tubuh saya, namun semua sifat baik dan buruk saya secara keseluruhan,saat itu saya tak sanggup menahan bergulirnya air mata saya. Saya begitu bahagia, hingga tanpa sadar, saya telah menyerahkan seluruh cinta saya, seluruhnya sebagai miliknya yang sah. Tak terganjal dosa, tak terbayangi perasaan takut. Yang ada hanya cinta… hanya cinta saja…… belakangan, saya menyesali bahwa kesan yang sama tak lagi bermakna dalam kehidupan intim kami..
Berakhirlah mimpi Sang Putri ……………..
Kehidupan yang sebenarnya baru saja dimulai. Saya tahu, kalau sejak saat itu saya tak hanya  hidup untuk diri saya sendiri lagi. Saya punya suami, yang mau tak mau harus saya urus. Saya harus mulai memikirkan apa yang akan saya masak  untuk makan siangnya. Biar saya beritahu satu rahasia. Semandiri apapun seorang laki-laki ketika dia bujang, dia menjelma jadi manusia paling manja setelah menikah. Dan semanja apapun seorang wanita ketika masih gadis, mau tak mau dia harus jadi serba mandiri, mengatur ini dan itu, ketika statusnya berubah  menjadi  ibu rumah tangga. Ah… betapa tidak adilnya….. Namun, wanita harus senantiasa terbiasa dengan segala macam ketidakadilan, bukan?
Hari-hari setelahnya, merupakan bab baru dalam kehidupan kami. Saya berusaha untuk menjadi istri yang baik. Bangun jauh lebih awal dari suami, bahkan jauh lebih awal dari ketika saya masih gadis. Menyiapkan sarapan, secangkir teh dan sepiring nasi goreng, atau sepiring nasi mengepul dengan lauk ikan goreng. Tak lupa secobek sambal. Mmm… lantas mengiringi kepergiannya bekerja dengan lambaian tangan dan sekulum penuh senyum terindahku..
Siangnya, dengan berdebar saya menantikannya pulang. Sajian makan siang sudah menunggu di meja makan. Tak lama, deru mesin sepeda motornya terdengar memasuki  halaman rumah kontrakan kami yang mungil.  Dengan senyum indah yang sama saya menyambutnya melangkahi pintu depan. Kemudian, dengan obrolan ringan tentang apa saja kegiatannya hari itu di sekolah( suami saya seorang guru SMA), saya mengikutinya ke dalam kamar, menontonnya mengganti baju. Tak lama sesudahnya, dengan mulut yang tak berhenti mengoceh tentang beberapa hal, mulai dari rekan kerja yang terlalu cerewet, hingga beberapa murid yang membuatnya sangat kesal hingga dihukumnya, dia melangkah menuju kamar mandi, membasuh muka serta kedua tangannya. Setelah rutinitas itu, dia melangkah ke ruang makan, dimana sajian menggoda itu telah menunggunya.
Kemudian, tudung saji dibuka. Dengan sangat antusias dia menyendok nasi ke piringnya. Masih dengan cerita yang meluncur deras, dia mulai menyuap. Inilah bagian favorit saya, ketika melihat ekspresinya ketika mengunyah, membuat saya merasa menjadi koki terhebat di dunia. Jika ditanya, apa salah satu hal terbaik dari suami saya, saya akan menjawab, dia akan memakan apapun yang saya masak. Plus, ekspresi kepuasan yang sangat nyata.
Malamnya, setelah selesai menunaikan shalat isa, kamipun bercengkrama sembari menonton tayangan televise. Saya kemudian menceritakan kegiatan saya hari itu. Diselingi tawa dan canda segar, kami mulai menghayalkan betapa indahnya kehidupan yang akan kami jalani setelah kehidupan kami dipenuhi tangis seorang bayi. Wah, sepertinya akan indah sekali….
Beberapa  bulan setelahnya, saya menyadari kehidupan tak seindah kisah klasik dalam dongeng. Ada beberapa hal yang lambat saya insyafi. Namun, ada banyak penyadaran akan segala yang terjadi. Bukan sekedar pembanaran, namun bisa dianggap sebagai pencerahan bahwa tidak ada hal yang terjadi dengan sia-sia. Ada banyak makna dalam setiap celah kehidupan,  dan yang pasti, makna yang banyak itu tidak sepenuhnya bisa  kita pahami semuanya.
Begitu pula dengan saya, saya merasa belum siap menghadapi perubahan yang terjadi. Dan terus terang saja, saya tidak begitu menyukai perubahan. Saya kegok menghadapai bahwa dunia tidak lagi berputar dengan saya sebagai porosnya, seperti yang selama ini saya rasakan. Keputusan tidak lagi tentang saya, namun cenderung meminggirkan saya, menjadikan saya sebagai objek, bukan lagi subjek, seperti yang selama ini terjadi.
Saya tidak siap menghadapi kenyataan saya tidak lagi langsing, karena di tubuh saya saat itu tumbuh janin buah cinta kami. Saya tidak bisa menerima bahwa suami tidak menganggap saya seksi lagi, dengan postur tubuh bola berkaki tangan itu. Namun, lebih menganggap saya lucu. Belum lagi, perut yang kian membesar membuat saya sulit melakukan kegiatan yang paling mudah sekalipun. Oh Tuhan,,,,!!!!
Belum lagi, ketika beberapa bulan setelahnya, tangis bayi memecah kesunyian siang hari yang panas. Ya, tepat jam setengah dua siang, putra pertama kami lahir ke dunia. Sungguh, pengalaman yang luar biasa bagi saya, ketika melihat bayi kecil yang tengah meronta itu dulunya hidup di dalam perut saya. Betapa kecilnya, betapa sucinya. Di samping saya, suami saya tak hentinya melapazkan hamdalah, menggulirkan rasa syukur akan kebaikan Tuhan kepada kami.
Bulan-bulan pertama merupakan anugarah dan ujian lain bagi kami. Sekali lagi saya menyadari, bahwa saya belum cukup siap secara mental untuk menjadi seorang ibu. Tangis bayi yang tiba-tiba terdengar pada saat saya tengah enak-enaknya terlelap, kewajiban menyusui yang mengharuskan saya makan dengan porsi jumbo, yang tentunya membuat tubuh saya kian subur, adalah sekelumit hal yang harus saya terima tanpa dapat berkomrntar apa-apa.
Namun, bukankah  wanita yang baik adalah wanita yang “nrimo”? saya mencoba menjadi wanita yang pasrah, walaupun ego seringkali menggelitik emosi, memercikkan api kecil dalam sekam masalah saya dengan suami. Dan, mahluk yang diciptakan Tuhan dengan title ‘laki-laki’ itu, tidak didisain untuk menghadapi perubahan. Mereka tetap dengan ketetapannya  bahwa mereka adalah penentu segala hal, meminggirkan kenyataan bahwa mereka bisa berdiri tegak juga karena bantuan wanita, istri mereka, yang seringkali mereka remehkan. Namun, saya hanya bisa ‘menentang’nya hanya lewat tulisan ini,,

Apapun yang telah terjadi dalam kehidupan saya, saya menganggapnya sebagai sebuah pelajaran berharga. Saya yakin, Tuhan punya rencana seru buat kehidupan saya, yang saya yakin akan dihiasNya bukan hanya dengan senyum tawa saja, akan tetapi disertai pula dengan derai air mata yang merupakan tebusan dari kebahagiaan yang pastinya akan lebih membuat saya menyadari betapa saya tak lebih dari hambaNya yang tak berdaya.


                                                         T        A        M        A         T
                            




Selengkapnya...