honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Senin, 06 Desember 2010

THE END



                Adalah sebuah kata yang akrab kita saksikan ketika satu lakon layar lebar usai disajikan. Adalah sebaris kalimat kerdil yang menegas suatu peristiwa teramat sederhana, namun memangku satu makna yang paling rumit dan membingungkan. Dapat berupa suatu yang baik, namun bisa menjadi pertanda akan sesuatu hal yang sangat buruk, ‘akhir’.
                Dalam beberapa kasus, ketika sesuatu hal berakhir, dia membawa dampak yang positif. Sebut saja, jika ada seorang istri yang selama pernikahannya hanya menreima mas kawin bogem mentah, dan digauli sangat tak senonoh dan tak berperikemanusiaan, dan selama itu pula dia mengalami tekanan fisik maupun emosional dari sang suami durjana, maka jalan keluar yang paling sehat adalah mengakhiri mahligai pernikahan mereka.
Atau dalam kasus yang lain, ketika seorang mahasiswa yang karena desakan kedua orang tuanya, yang sangat berambisi memiliki anak yang menjadi dokter, sementara dia adalah seorang anak tunggal, padahal dia sangat memusuhi pelajaran matematika, terpaksa harus bergelut di Fakultas kedokteran yang sangat menyiksanya, maka jalan keluar yang paling baik adalah menyerah dan beralih kuliah di IKJ karena konon dia gemar melukis dan bermain teater.
                Namun, ada pula kisah, dimana kalimat “ THE END” membawa dampak yang lebih mengerikan dari dampak serangan bom atom tentara AS di Hiroshima dan Nagasaki. Ketika seorang istri, yang dengan dedikasi tinggi menyerahkan jiwa raganya untuk berbakti kepada suami dan mengabdi mengurus rumah tangganya, tiba-tiba harus menelan kenyataan yang luar biasa pahit dikhianati sang Suami yang satu tahun belakangan ternyata menjalin hubungan gelap dengan seseorang yang ternyata adalah sang sahabat. Maka berakhirlah surga yang selama ini dibangunnya dengan susah payah dan penuh pengorbanan.
Meski, dalam kasus itu sang suami mengaku telah khilaf dan berjanji akan bertaubat dan tentu saja sumpah setia dan tak akan sekalipun mengulangi perbuatannya yang menurutnya ‘keliru’, dan bisa saja sang Istri dengan tangan terbuka menyambut suaminya kembali, namun semuanya tak akan sama lagi. Tak akan ada keikhlasan untuk mengabdi lagi, ketika lintasan-lintasan ingatan asing berputas kencang laksana gasing samar dalam benaknya, menampilkan sang suami yang tertawa, memeluk sang sahabat! Hhh..akan sulit untuk menjadi orang yang sama lagi. Bahkan mungkin, sang istri akan menjelma menjadi pribadi lain yang akan berpikir ulang tentang arti pengabdian. Bukan sosok yang pendendam, namun orang yang akan sulit untuk toleran.
Adapun ‘the end’ yang lebih hakiki, yaitu kematian…
Semua yang bernyawa akan mati, itu adalah ilmu pertama yang saya pelajari dalam kehidupan. Ketika suatu ketika, burung yang dibelikan kakek saya tiba-tiba diam, kaku, dingin, saya sekonyong-konyong tahu bahwa dia telah ‘lewat’, padahal masa itu saya tak lebih dari tujuh tahun, masih buta akan hakikat kehidupan, apalagi kematian.
Seseorang yang beberapa saat yang lalu masih bergerak, tertawa, tiba-tiba diam, kaku, dingin, ketika Waktu datang menagih takdirnya. Tak kurang satu detikpun, tak lebih satu detikpun. Semua berakhir, bahkan kita tak akan sempat mengingat siapa kita..
Saya belum pernah mati, jadi saya tidak akan pernah bisa menceritakan bagaimana rasanya mati. Namun saya acapkali menyaksikan berita kematian, baik di televisi ataupun saya mendengar kematian seseorang yang saya pikir saya mengenalnya. Setiap kematian yang saya dengar mengguncang saya dalam skala yang berbeda, seperti gempa. Kadang, saya hanya terkejut dan termangu sesaat, kadang saya bisa berhari-hari tak bisa memicingkan mata barang sekejap.
Pernah, saya menyaksikan di televisi, ketika istri seorang mantan presiden akhirnya tutup usia. Saya tidak pernah mengenal sosok mantan First Lady itu, namun salah seorang kakak sepupu saya adalah penerima beasiswa dari salah satu yayasan pendidikan yang konon didirikan almarhumah, hingga kakak saya itu bisa meraih gelar sarjananya. Melalui sepupu saya, saya mengenalnya. Dan ketika saya mendengar berita kematiannya, saya shock. Serasa kehilangan seorang sahabat jauh, yang tak pernah saling bertemu dan menyapa hanya melalui angan.
Dan suatu ketika, ayah seorang aktor terkenal yang beberapa tahun lalu pernah merajai sinetron-sinetron remaja, meninggal secara mendadak. Beritanya sangat mengagetkan, bahkan bagi si pembawa berita. Konon, sang Ayah ini sangat atraktif dan lebih ng-artiss dibanding sang anak. Mungkin, dia yang lebih banyak muncul di infotaintmen dibanding anaknya yang jelas-jelas sebagai aktor. Ini dikarenakan sang anak yang katanya aktor hebat—menurut versi almarhum sendiri lho,—lemah mental dan miskin nyali,  hingga ketika terhimpit masalah, dia akan langsung bersembunyi dan membiarkan sang Ayah yang menjadi juru bicara tidak-resminya.
Dan, suatu ketika seorang aktris W—sebut saja begitu, terlalu banyak pengandaian yang membingungkan—yang adalah kekasih si Aktor tadi, tertangkap polisi ketika sedang pesta shabu di kosannya, sang Aktor terkenal terkesan tidak peduli dan membiarkan sang pacar menjalani pemeriksaan polisi dan cemoohan publik seorang diri, padahal belum sebulan yang lalu, televisi—terutama saluran gossip—menyoroti betapa mesra hubungan mereka berdua, dan jelas-jelas sang aktor menyebut hubungan mereka sebagai “..hubungan yang berkualitas dan penuh dengan chemistry.”
Maka cemoohan publikpun beralih kepada sang Aktor terkenal, yang dianggap sebagai cowok yang tidak jentel dan tak mau repot. Maka, mulailah si aktor ini sulit ditemui, bagaikan menghilang di telan bumi. Dan tentu saja, sang ayah maju untuk membela anaknya mati-matian. Setiap hari, sang ayah ini muncul di acara-acara gossip dan menuturkan suatu fakta bahwa sang  anak dan kekasihnya yang tertangkap tersebut telah mengakhiri hubungan mereka tepat sebelum si gadis itu tertangkap.
Lebih jauh lagi, dia menuturkan bahwa sangat tidak masuk akal anaknya disebut sebagai laki-laki yang tidak jantan.  “ Saya tidak terima anak saya dibilang tidak jantan. Lihat saja sinetronnya sekarang! Bukan sinetron cengeng lagi kan? Dia sekarang lebih banyak memerankan jagoan silat dan di sinetron-sinetron berantem, tahu?” gertaknya berapi-api.
Tepat disini saya tertawa.
Sungguh dangkal pemikiran sang ayah yang sangat berambisi mengangkat nilai anaknya itu. Dan karenanya saya menjadi sedikit kurang respek dengan anak-ayah itu, padahal dulunya saya termasuk fans beratnya lho.
Maka ketika saya mendengar berita bahwa sang ayah ini meninggal, saya terkejut. Saya tidak menyangka bahwa saya akan merasa seperti ini. Seakan baru kemarin saya mendiskusikan ocehannya yang dangkal dengan beberapa teman saya, dan kami menertawakannya habis-habisan, dan sekarang saya tahu dia sudah ‘tamat’, dan itu aneh. Saya tidak mengenalnya, saya bahkan tidak pernah benar-benar tahu siapa namanya, tapi kematiannya mendatangkan sebentuk perasaan asing di kalbu saya. Sebentuk perasaan yang merisaukan, yang tidak bisa diidentifikasi sebagai perasaan sedih. Lama saya merenungi perasaan asing tersebut, hingga di sebuah ‘akhir’ yang lain, saya tahu makna perasaan itu.
Kematian datang silih berganti, sama dengan kelahiran yang tak pernah putus. Yang hidup dan yang mati sesungguhnya tengah melunasi apa yang difitrahkan Sang Khalik, dan saya tak cukup bisa menguraikannya. Hanya kesadaran bahwa hidup kita tak lebih dari memenuhi tenggat waktu yang telah ditimbang  pas, adil. Sama seperti kata-kata saya di awal, tak kurang satu detik, dan tak lebih satu detik. Namun, sering kita bahkan tak terusik ketika mendengar seseorang meninggal, selain dengan lancar mengucapkan innalillahi wa innailaihi roojiuun tanpa benar-benar paham apa yang kita tasbihkan.
Hingga,  suatu ketika sebuah kematian mengguncang saya lebih hebat dari yang sebelum-sebelumnya.  Seorang wanita muda, yang juga tengah hamil muda, meninggal setelah sebelumnya menderita panas tinggi dan kejang-kejang. Ada dugaan dia diracun oleh suaminya yang berencana beristri lagi, namun tak diijinkannya. Dia sempat dirawat di puskesmas sekitar, namun akhirnya tak tertolong.
Perempuan ini mengidap kelainan, mungkin mendekati down syndrom. Dia agak kurang tanggap, namun tidak bodoh. Badannya pun tidak tumbuh secara normal, persis penampilan seseorang yang kurang gizi ketika masih kecil. Dia, juga penampilan dan alur hidupnya tidaklah istimewa, hingga mungkin kematiannya pun tak akan begitu menggangguku, jika saja selama aku mengenalnya, aku menyukainya.
Ironisnya, dia yang adalah tetanggaku dilingkungan baruku, adalah orang yang sangat tidak kusukai. Seringkali, dia memetik buah-buahan di kebunku tanpa permisi terlebih dahulu, meninggalkan dedaunan yang mengotori halaman. Saya seringkali merasa kesal jika harus membereskan bekasnya berburu buah jambu saya yang bahkan belum matang. Bukan itu saja, dia selalu memandang saya dengan cara yang aneh. Setengah mendelik dengan mulut yang miring seperti mencibir. Tentu saja hal tersebut meninggalkan kesan, bahwa dia sangat tidak menyukai saya.
Namun, belakangan saya tahu, bahwa matanya yang mendelik—atau kelihatan seperti tengah mendelik tersebut—karena dia cacat. Matanya yang sebelah kiri tidak bisa melihat, dan mata yang cacat tersebut ukurannya lebih kecil dari pasangannya, hingga ketika dia memandang seseorang, dari sudut pandang tertentu, ekspresinya bisa menyerupai ekpresi wajah tokoh-tokoh antagonis di sinetron. Begitupun dengan mulutnya yang miring, ternyata karena otot bibir sebelah kirinya lumpuh, atau begitulah kira-kira. Karena itu, saya mendapat secercah penjelasan kenapa pandangannya sangat tidak ramah.
Namun, tingkahnya yang tak kunjung henti mencuri buah-buah jambu saya masih saja membuat saya kesal. Saya sudah mencoba memberitahukannya, agar menunggu setidaknya sampai buah-buahan itu matang, namun dia tetap tak bergeming. Dia tetap saja memetiki buah yang mungil-mungii dan sekeras batu tersebut.
Hingga, sayapun tak peduli. Saya membiarkan dia memetiki buah-buah itu, juga saya tak lagi menegurnya ketika berpapasan, dan pura-pura tak melihatnya. Saya mengacuhkannya, mendiamkannya, dan lambat laun, dia tak pernah lagi menyambangi pohon jambu itu. Sedikit banyak saya merasa, taktik saya untuk mengabaikannya berhasil membuatnya sadar kalau yang dilakukannya tersebut mengesalkan saya. Sayapun berniat, jika nanti pohon jambu itu akhirnya berbuah dan buahnya matang, saya akan mengantarkannya ke rumahnya dan melakukan gencatan senjata. Namun, saya tak pernah sempat melakukannya. Belum lagi si jambu berbuah, dia keburu meninggal…
Ada orang-orang yang sangat membuat kita tidak nyaman berada di dekatnya—jika kita tak mau mengatakan jenis orang ini adalah orang yang yang kita benci. Dan seringkali, alasan yang membuat kita tak menyukainya tergolong sepeleh. Misalnya, orang tersebut jarang mandi,  atau terlalu sering meludah,  atau orang yang terlalu malas untuk menerapkan nasehat IDI yang tercetak abadi di balik kemasan pasta gigi, untuk senantiasa menyikat gigi tiga kali sehari, hingga nafasnya lebih busuk dari naga yang paling busuk,  atau orang yang gemar membicarakan orang lain di depan kita, dan membicarakan kita di depan orang lain, atau orang yang lebih menarik dari kita dan tahu bahwa dia lebih menarik dan sengaja berdiri berdampingan dengan kita agar orang lain bisa melihat betapa menariknya dia dibanding kita.  Itu bukan  kejahatan tingkat I hingga kita menginginkan dia meninggal. Tidak! Kita tak akan pernah menginginkann orang-orang diatas meninggal.
Dalam kasusku, aku sangat tidak menyukai seorang wanita setengah idiot yang selalu mencuri buah jambu-ku, dan dia secara tiba-tiba meninggal. Ini berbeda ketika mendengar berita kematian istri mantan presiden yang aku sukai atau ayah aktor terkenal yang tidak aku sukai. Aku tidak mengenal mereka, baik langsung maupun tak langsung, walaupun aku merasa mengenal mereka. Namun wanita ini, yang mengesalkanku setengah mati, adalah pribadi yang kukenal, meskipun melalui kekurangannya. Dan kepergiannya telah begitu mempengaruhiku, menunjukkan kepadaku orang seperti apa sebenarnya aku ini. Betapa dangkalnya aku, betapa piciknya aku. Aku kesal padanya, hanya karena dia ingin menyantap buah jambu, bukan karena dia merusak barang-barangku yang lain, yang jauh lebih berharga. Ya Tuhan, hanya beberapa butir buah jambu yang masih muda dan kecut.
Namun, sedetikpun aku tak pernah berpikir ingin melihatnya meninggal.
Beberapa kejahatan yang lebih parah di lakukan orang lain. Pengeboman hotel berbintang, penculikan anak-anak yang berakhir dengan pembunuhan anak-anak malang tersebut, mutilasi yang sempat tren, korupsi, fornografi yang dilakukan oleh tokoh publik yang sangat terkenal, hingga penggelapan pajak. Perbuatan orang-orang tersebut cukup membuat kita membencinya, dan bagi sebagian orang yang lain, perbuatan mereka mungkin cukup menjadi alasan bagi pelakunya untuk dihukum mati. Namun, dengan sedikit kesempatan memberikan pembelaan diri, mereka bisa dengan mudah membolak balik perasaan kita sebagai penyimak. Yang melakukan pengeboman mengatakan, “..melakukannya demi tuntutan jihad.” Si penculik khusus anak-anak berdalih, “..mendapat semacam bisikan gaib.” Yang korupsi dengan jentel mengundurkan diri dan dengan gagah perkasa menyerahkan diri ke polisi, namun ogah mengakui bahwa mereka telah memakan uang negara. Bagi mereka uang itu adalah.. “.. kompensasi akan kerja keras melakukan perbaikan di negeri ini.”
Sementara bagi si Public Figure yang video syurr-nya dengan beberapa wanita beredar luas di internet, terang-terangan menyangkal bahwa pemeran adegan tak senonoh itu bukanlah dia, tapi adalah keajaiban genetis yang benar-benar spektakuler karena sangat menyerupai dirinya. Namun, ketika para ahli mengatakan bahwa tak ada keraguan lagi, pria di video tersebut adalah tokoh tersebut, lagunya lain lagi. Dia berujar, “ ..Saya ini korban, kenapa malah saya yang disorot dan disudutkan?” koarnya. Dan bagi si penggelap pajak, dia merasa tak bersalah karena.. “ …ini bukan yang pertama kali, dan toh bukan saya saja yang menikmati uang tersebut..”
Mereka melakukan kejahatan, pengrusakan moral, pembunuhan massal, keji dan diluar jangkauan daya imajinasi kita, namun ada beberapa orang yang akhirnya bersimpati termakan nyanyian merdu mereka. Yang menjadi tren saat ini, tentu saja, menggalang dukungan melalui dunia maya, sering kita kenal dengan “ SATU JUTA F***B***ER BEBASKAN SI A!” dan sejenisnya.
Dan, tetanggaku penggila jambu kecut itu tak pernah membunuh, korupsi, melakukan fornografi, namun kenapa dulu aku begitu kesal padanya? Tentu saja, usaha saya untuk menyalahkan diri sendiri akan kekeliruan sikap saya kepadanya di masa lalu tidak mungkin dapat menghidupkannya lagi. Dan saya pasrah, hanya berdoa semoga arwahnya di terima di sisi-Nya.
Kembali ke masalah kematian. Saya mengatakan bahwa saya mendapat pencerahan melalui kematian tetangga saya yang malang, dan itu benar. Selama ini, setiap mendengar ada yang meninggal, saya selalu didera perasaan risau, dan perasaan itu sangat asing dan merupakan sesuatu yang sama sekali baru dalam kamus emosi saya. Dan belakangan saya mengerti—atau mencoba meraba-raba—bahwa sesungguhnya saya takut jika tiba-tiba kematian datang menghampiri saya. Bahwa akhirnya Waktu saya tiba, sementara saya tahu, saya tak punya cukup bekal, tak punya apa-apa untuk saya bawa Pulang. Saya bukan hambaNya yang taat, meskipun saya tahu Dia ada dan Menunggu saya meraihNya. Saya hanya berharap, ketika saya Dipanggil, saya telah mengecap indahnya Iman. Dan saya tahu saya tak boleh menundanya lagi.
Tak pernah ada akhir ketika kita memutuskan membicarakan ‘akhir’ itu sendiri, karena hakikinya ia tetap menjadi misteri bagi kita yang menunggunya. Ketika kematian datang, pastikan menyambutnya dengan tersenyum, tersenyum dan penuh kerinduan kepadaNya. Saya tak menujukan nasehat itu kepada orang lain, karena saya tahu, saya tak pantas menasehati orang lain. Nasehat itu saya tujukan buat saya sendiri jika suatu saat saya lupa, dan saya memang gampang lupa…

The end 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar