honeyhenyyy imuuuut geto loooh

Selasa, 21 Februari 2012

KEMBALIKAN PIA LAUUUUUUUUT…..!!!! ( JINGGA DI MENTARI )





                “ Ayo, sedikit lagi, Pia…”
                “ A…aku sudah nggak kuat lagi, Ki…”
                “ Pia, kamu harus kuat, sebentar lagi kita sampai ke laut. Ayo sedikit lagi…!”
                “ Aku capek, aku tidak bisa jalan lagi…”
                “ Tapi, sebentar lagi kta akan tiba di laut…”
                “ Ki…”
                “ Pia, ayo!!”

                                                                *             *             *             *             *

                Rumah itu masih seperti dulu, megah dan elegan. Juga menyimpan banyak sekali kenangan. Dulu, dia biasa bermain di taman bersama kedua orang tuanya. Bercerita sambil tertawa. Tapi, itu dulu…

                Sekarang, rumah itu, taman itu bukan miliknya lagi. Orang telah merebut rumah dan taman itu. Tapi, tidak dengan kenangan yang terukir abadi di dalamnya. Tidak akan pernah, selama dia masih bisa bernafas.
                Diambilnya sebutir batu, kemudian…
                “ Prang!!!” terdengar suara kaca pecah. Tak lama berselang, terdengar jeritan seorang wanita, menyumpah-nyumpah. Tapi, wanita itu tidak akan pernah bisa menyusulnya. Dia sudah jauh meninggalkan rumah itu, bahkan sebelum batunya mengenai kaca jendela.
                Hhh…!! Satu kaca lagi telah pecah di rumah itu, batinnya.

                                                                *             *             *             *             *

                Perlahan dia membuka mata. Tadi, dia baru saja bermimpi indah sekali. Ada pantai, laut, burung camar. Tapi kemudian, dia terbangun oleh suara kaca pecah. Lagi-lagi…
                Pelan, dia beranjak ke arah pintu dan keluar dari kamarnya. Dilihatnya seorang wanita setengah baya tengah membereskan pecahan kaca dilantai.
                “ Kaca pecah lagi ya Bi?” tanyanya kepada wanita itu.
                “ Ya Non, lagi-lagi anak-anak nekal itu melempari kaca jendela rumah ini.. Awas saja kalau sampai ketangkap, Bibi pukul sama sapu ini..” ujar si Bibi sambil mengguncang-guncang sapu ditangannya.
                Pia tersenyum. “ Bibi bisa saja,” ujarnya pelan.
                “ Ya, biar kapok!” jawab Bibi. “ Neng Pia terkejut ya?” lanjutnya dengan mimik khawatir.
                “ Nggak kok, Pia baru saja bangun. Pia mau mandi dulu Bi, sekalian nanti mau nelpon Mas Abi biar nyuru orang untuk mengganti kaca itu,” katanya.
                Dia kembali ke kamarnya. Mengunci pintu, kemudian beranjak mendekati tempat tidurnya. Dia duduk di tepi tempat tidurnya. Kenapa? Batinnya. Semenjak dia pindah ke rumah itu, hampir setiap hari ada saja kaca yang di lempari batu oleh seseorang. Dia sendiri tidak pernah tahu siapa pelaku pelemparan itu dan apa alasannya. Apakah Cuma iseng?
                Perlahan dia menjangkau hp-nya dari atas meja di samping tempat tidurnya. Dia harus memberitahukan Abi, kakaknya supaya segera mengirim orang untuk memperbaiki kaca yang pecah itu. Tangannya menekan nomor tertentu.
                Halo..” sapa seseorang di seberang.
                “ Mas Abi…” jawabnya.

                                                *                             *                             *                             *

                Dia membuka pintu depan, sepi. Mungkin Mama belum pulang kerja, batinnya. Semenjak Papanya meninggal lima tahun yang lalu, dia dan Mamanya tinggal berdua. Mamanya harus banting tulang bekerja sendirian supaya mereka berdua bisa bertahan hidup dan dia bisa tetap sekolah. Walaupun sekarang, itu semua terasa sia-sia. Dia sudah dikeluarkan dari sekolah karena banyaknya kenakalan yang diperbuatnya di sekolah. Tapi, dia tidak berkecil hati. Baginya, sekolah adalah hal yang tak ada gunanya. Hidup bebas seperti sekarang lebih menyenangkan.
                Gubrak!!! Suara keras dari arah pintu mengejutkannya. Ya Tuhan! Lagi-lagi wanita itu pulang dalam keadaan mabuk. Mengapa harus selalu begini?
                “ Rifki…” lirih wanita itu memanggilnya.
                Dia mendekat. Ditopangnya tubuh wanita itu supaya bisa berdiri tegak. Ditunutunnya ke tempat tidur.
                “ Rifki…” sekali lagi wanita itu memanggilnya.
                “ Ya Ma,” jawabnya lirih.
                “ Air, Mama haus,” pinta wanita itu.
                Dia beranjak ke arah dapur. diambilnya botol air dari lemari es dan dituangkannya kedalam sebuah gelas. Dibawanya air itu keluar.
                “ Ini airnya Ma,” ujarnya sembari menyerahkan gelas berisis air itu ke Mamanya.
                “ Ma, kenapa Mama selalu kayak gini?” tanyanya lemah.
                Sejenak Mamanya memandangnya. Lantas berbaring.
                “ Mama letih, Ki. Mama jenuh, Mama butuh pelarian,” ujarnya.
                “ Tapi, tidak harus selalu mabuk-mabukkan kan?” katanya lagi.
                “ Lalu, Mama harus bagaimana Ki? Bagaimana?” wanita itu mulai histeris. Selalu begitu.
                Mama bisa berbagi denganku, batinnya. Aku, anakmu yang telah kau lupakan. Aku bisa kau jadikan pelarian, aku bisa kau ajak berbagi bebanmu. Aku, yang selalu ada, tapi urung kau sadari…
                Tak lama terdengar dengkur halus dari arah Mamanya. Lama ia menatap wajah Mamanya yang jelas sekali menyiratkan kelelahan yang sangat. Ma, tidakkah kau sadar, kalau aku juga kesepian? Kejarnya masih dalam hati.
                Diselimutinya tubuh wanita itu. Kemudian direngkuhnya dalam. Tapi biarlah, setidaknya dalam keadaan begini, ia seolah dapat memiliki Mamanya seutuhnya. Walau tentu saja, mamanya tak menyadari pelukannya yang sangat erat.
                Ini gara-gara mereka, batinnya lagi. Orang-orang yang telah menodai kebahagiaannya dengan fakta yang telah merenggut segalanya. Orang-orang itulah yang telah merebut mama yang dulu sangat menyayanginya. Awas saja, besok segala dendamnya akan segera terbayarkan. Besok pagi, satu kaca lagi akan pecah!!
                Diapun terlelap dengan tangan merengkuh erat tubuh mamanya..

                                *                             *                             *                             *                             *

Hari ini, aku harus tahu siapa yang selama ini melempari rumahku dengan batu! Tekadnya dalam hati.
                Dibukanya pintu depan, dan dia beranjak ke halaman. Kemudian dia duduk di tengah tanaman bunga-bunga supaya tidak kelihatan dari luar pagar.
                Tak lama kemudian, seseorang kelihatan mengendap-endap mendekati pagar.  Tentu saja orang itu tidak melihatnya, karena dia terhalangi bunga-bunga. Orang itu terlihat menggenggam batu. Jadi, ini orangnya, batinnya.  Pelan, orang itu mengangkat tangannya hendak melamparkan batu tersebut ke arah jendela rumah.
                “ Haah!!! Jadi, kamu ya yang selama ini melempar rumahku dengan batu?” ujarnya keras. Dilihatnya orang itu terkejut lantas berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
                “ Hei, jangan pergi!” cegahnya. “ Aku Cuma ingin berkenalan dan ngobrol. Selama di sini aku belum pernah punya teman seorangpun,” lanjutnya.
                Orang itu tampaknya mengurungkan niatnya untuk pergi. Bahkan dia berbalik menghadapinya.
                “ Maukah kamu berteman denganku?” katanya penuh harap.
                “ Kamu sudah gila ya? Aku kan yang setiap hari melempari rumahmu dengan batu? Kenapa kamu malah mau berteman denganku?” kata orang itu sinis. Elengkung cibiran membayang di bibirnya.
                “ Aku tahu, kamu yang selama ini melempari rumahku, tapi aku juga percaya kalau kamu punya alasan melakukannya. Dan apapun alasanmu, aku nggak peduli. Yang penting, kamu mau jadi temanku. Jangan khawatir, nanti jika kita berteman, kamu masih boleh kok melempari rumahku kalau kamu mau,” katanya panjang lebar. Pelan, orang itu tersenyum kecil, kemudian mendekatinya.
                “ Bidadari cantik yang baik hati ini namanya siapa?” tanya orang itu jenaka.
                “ Nama aku Pia. Pangeran tampan yang nakal ini namanya siapa?” balasnya. Orang itu kembali tersenyum.
                “ Rifki,” jawabnya.
                “ Nah, kita kan sudah jadi teman, boleh nggakn aku nanya sesuatu sama kamu?” tanyanya.
                “ Tanya saja,” jawab Rifki.
                “ Kenapa kamu melempari rumahku tiap hari?” tanyanya.
                “ Karena aku sayang sekali sama rumah ini,” jawab Rifki sembari melempar pandangan sendu ke arah rumah.
                Dia tercengang. “ Kalau sayang, kenapa malah merusaknya?”
                “ Aku tidaj berniat merusaknya. Aku Cuma ingin membuat penghuninya merasa tidak betah, kemudian cepat-cepat pindah dari sini,” jawab Rifki ringan.
                “ Tapi, kenapa?”
                “ Karena aku telah kehilangan kenanganku ketika kalian pinda ke rumah ini,” mimik muka Rifki berubah serius.
                “ Apa maksudmu?”
                “ Rumah ini dulunya milik keluargaku. Di rumah ini banyak sekali kenangan ketika aku masih bahagia bersama kedua orang tuaku. Tapi, semua itu berakhir ketika papaku meninggal. Dulu, ketika kami terpaksa meninggalkan rumah ini karena bank menyitanya, aku masih bisa memandanginya dari luar pagar, karena rumah ini kosong. Tapi semenjak kalian pindah ke rumah ini, aku sudah tidak bebas memandanginya lagi. Wanita yang tinggal bersamamu itu galak sekali,” kata Rifki dengan pandangan jauh menerawang.
                Dia hanya bisa tertegun.
                “ Maaf,” katanya. “ Kami tak pernah tahu,” lanjutnya menyesal.
                “ Lupakan saja,” jawab Rifki kembali santai.
                Dia tersenyum. Kemudian, dia mendengar seseorang memanggil namanya.
                “ Non Pia, waktunya minum obat!”
                “ Ya Bi, Pia masuk sebentar lagi!” jawabnya balas berteriak.
                “ Kamu sakit ya? Kok harus minum obat segala?” tanya Rifki.
                “ Ya, tapi bukan sakit yang parah kok,” jawabnya.
                “ Ya udah deh, kamu masuk saja. Nanti si Wanita Galak itu keluar nyusulin kamu kalau kamu nggak segera masuk. Aku pulang dulu,” kata Rifki sembari hendak berlalu dari hadapannya.
                “ Tunggu!” cegahnya cepat. “ Besok datang lagi ya?” lanjutnya dengan mimik muka memelas.
                “ Oke deh, besok aku balik lagi. Daaah…!” ujar Rifki sembari melambaikan tangannya. Dia membalas lambaian tangan Rifki dengan tersenyum senang.
                Itulah awal pertemuannya dengan Rifki. Perkenalan yang bermuara pada hubungan pertemanan yang indah. Hampir setiap sore, Rifki datang menemuinya dan bercerita tentang banyak hal. Tentang hal-hal yang selama ini hanya sanggup dibayangkannya saja. Tentang hutan, sawah, pantai, sekolah..
                “ Eh, kamu sekolah di mana?” tanya Rifki suatu ketika.
                Pias murung merambati wajahnya.
                “ Aku tidak pernah sekolah selama hidupku. Ayah dan Kakakku mendatangkan seorang guru privat yang mengajariku menulis dan membaca,” jawabnya murung. “ Sekolah itu menyenangkan?”
                “ Sangat! Tapi bisa jadi menyebalkan juga sih. Apalagi ketika PR-nya banyak,” jawab Rifki sembari tertawa kecil.
                “ Oh ya? Bagaimana denganmu? Kamu sekolah dimana?” tanyanya antusias.
                Rifki meringis. “ Aku sudah berhenti sekolah. Aku di-DO,” jawabnya.
                “ DO? Maksudmu kamu dikeluarkan? Kenapa?” tanyanya.
                “ Karena aku nakal,” jawab Rifki tanpa perasaan berdosa.
                Dan mereka tertawa lepas. Begitulah, mereka sering berbagi cerita. Atau lebih tepatnya, Rifki-lah yang berbagi cerita padanya. Dan dia, dengan setia senantiasa menanti kedatangan Rifki setiap sorenya, meskipun ketika mengobrol, mereka dibatasi pagar besi yang tinggi.

                                *                             *                             *                             *                             *

                Hari minggu. Dia sudah bangun pagi-pagi. Setelah merapikan tempat tidurnya dia mandi dan mengenakan pakaian terbaik yang pernah dimiliknya. Hari ini, dia berjanji pada Pia untuk datang pagi. Dia punya cerita yang sangat menarik buat gadis mungil itu, yang pasti akan membuat gadis itu akan berdecak kagum. Dia paling senang melihat binar-binar bahagia mengambang di mata gadis itu setiap kali mendengar kisah yang diceritakannya. Kadang, dari mata bening itu, menetes setitik air mata ketika dia bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh cobaan. Dan hari ini, kembali dia akkan menatap mata bening yang selalu dirindukannya itu.
                Ketika keluar dari kamarnya, dia berpapasan dengan mamanya. Wanita itupun telah rapi. Ternyata bukan hanya dia yang punya rencana keluar hari ini.
                “ Mau kemana Ma?” tanyanya.
                “ Kerja,” jawab Mamanya singkat.
                “ Hari minggu juga kerja?”
                “ Ya, Mama harus cari penghasilan tambahan kan?” jawab Mamanya santai. “ Kamu juga sudah rapi, mau kemana?” mamanya balik bertanya.
                “ Mau ketemu teman,” jawabnya.
                “ Cewek?” tanya mamanya.
                “ Yah, begitulah.” Dia menghindari tatapan mata Mamanya.
                “ Ooo.. kencan..” ujar Mamanya sembari tersenyum kecil. “ Anak mama sudah gede,” lanjut mamanya sembari mengacak-acak rambutnya.
                “ Ah Mama, nggak kok,” jawabnya. Aku Cuma mencintai satu wanita, yaitu Mama. Hanya Mama yang bisa kupercaya dan kumiliki..batinnya.
                “ Ya deh, Mama percaya. Mama berangkat dulu ya?” ujar Mama sembari mengecup keningnya.
                Ditatapnya wanita terkasih itu melangkah meninggalkannya sendirian. Tanpa disadarinya, air matanya menetes ketika menyadari kalau ternyata dia masih memiliki mamanya yng dulu, yang selalu perhatian dan menyayanginya.
                Dia terkejut sendiri begitu menyadari satu hal: Pia menunggunya!

                                *                             *                             *                             *                             *

                Dia menatap ke kedua mata lelaki itu. Ada kegarangan disana, menegaskan kalau dia tidak main-main dengan kata-kata yang baru saja diucapkannya. Dia semakin sedih, karena lelaki itu adalah kakaknya sendiri. Kakaknya yang selama ini sangat menyayanginya dan memberikan apa saja yang diinginkannya, hari ini ternyata memaksanya untuk melepaskan sesuatu yang baginya sangat penting. Seseorang yang sangat penting.
                “ Sekali lagi Mas tegaskan Pia, kamu jangan bergaul lagi sama anak kampung sini yang bernama Rifki itu. Dia tidak pantas menjadi temanmu,” sekali lagi lelaki itu menegaskan maksudnya.
                “ Tapi kenapa Mas? Rifki baik kok..” dia mencoba membela diri.
                “ Anak baik? Anak yang dikeluarkan dari sekolah bukan anak baik Pia. Dan lihat kamu sekarang! Dulu kamu begitu mains dan penurut, tapi semenjak kamu bergaul dengannya kamu menjadi lain. Kamu berani menentang kata-kata Mas Abi, yang sudah pasti demi kebaikanmu sendiri,” cecar Kakaknya.
                “ Mas nggak pernah mengerti Pia. Ayah juga demikian, meninggalkan Pia sendiri disini dan di jenguk hanya sesekali. Tak mengertikah kalian berdua Mas? Kalau Pia disini kesepian? Dan ketika Pia mulai mempunyai teman yang sangat mengerti perasaan Pia, kenapa sekarang harus dilarang?” katanya mencoba lebih berani.
                “ Tidak mengerti? Kamu sadar apa yang baru saja kau ucapkan Pia? Justru karena kami sangat paham dan mengerti keadaan tubuh kamu, makanya kami melakukan hal ini sama kamu. kamu harus ingat Pia, kamu tidak seperti anak-anak lainnya yang bisa melakukan apa saja sekehendak hatinya. Ingat kondisimu Pia, jangan membuat kami berdua, yang peduli kepadamu ini, menjadi semakin sedih!” ujar Kakaknya melembut.
                Dia hanya bisa menangis. Ya, dia sakit. Dan karena penyakitnya pulalah dia terisolir dari dunia luar. Ayah dan kakaknya tiddak mengijinkannya keluar rumah. Semua hal dipelajarinya dirumahnya, dan dunianya hanya sebatas pagar halaman.
                Dan, ketika akhirnya Rifki hadir ke dalam dunianya yang hambar itu, Rifki seolah memberi warna  tersendiri di dunianya yang pucat. Dia seperti menorehkan warna-warna indah diatas sketsa-sketsa dalam imajinasinya. Sketsa-sketsa tentang dunia luar, dunia yang tak pernah dikenalnya.
                Tapi sekarang, dia harus mengakhirinya, mengakhiri segala khayalannya, semangat hidupnya, satu-satunya alasannya untuk tetap membuka mata dipagi hari. Tapi, apakah dia bisa? Terlebih ketika Mas Abi keluar  dari kamarnya dan terdengar berpesan kepada si Bibi pengasuh.
                “ Jangan biarkan Pia keluar kamarnya, Bi!” tegasnya.
                “ Baik Tuan,” cicit si Bibi takut-takut.
                Air matanya berloncatan keluar. Dunianya telah berakhir. Ki, selamat tinggal, bisik kalbunya kelu. Diapun terlelap dalam isaknya.

                                *                             *                             *                             *                             *

                Dia melihat ke halaman. Pia tak ada. Dia memutuskan untuk menunggu, sejam, dua jam berlalu, namun gadis manis itu tak juga menampakkan batang hidungnya. Mungkin Pia tengah istirahat, pikirnya. Lantas dia berlalu.             
                Dia melangkah ke arah pantai. Sepatu di buka, dan dengan kaki telanjang dia menyusuri pinggiran pantai. Sembari menikmati desir angin pantai yang nakal mempermainkan anak-anak rambutnya, angannya serta merta melayang pada Pia. Suatu ketika, gadis itu pernah memintanya bercerita tentang laut.
                “ Ki, cerita tentang laut dong!” pintanya saat itu, manja.
                “ Laut itu indaah banget. Dari jauh, airnya berwarna biru. Di laut juga ada benda-benda yang tak kalah indahnya. Misalnya saja karang, kulit kerang, juga tumbuh-tumbuhan laut,” jelasnya.
                “ Wow…” bibir Pia membulat lucu, sementara kedua matanya berbinar senang. “ Aku ingin melihat laut!” ujarnya kemudian.
                “ Kamu mau jika suatu hari nanti aku mengajakmu melihat laut?” tanyanya sembari mendekatkan diri ke arah gadis itu.
                “ Ya!” jawab gadis itu segera.
                “ Makanya, kamu harus cepat-cepat sembuh dong. Aku nggak mau mengajak orang sakit ke laut,” ujarnya. Sejenak gadis itu terlihat murung, namun sejurus kemudian wajahnya kembali cerah.
                “ Ya deh, mulai besok aku akan rajin minum obat biar cepat sembuh!” ujarnya bersemangat.
                “ Nah, gitu dong..” ujarnya. “.. ada lagi yang kau inginkan?” lanjutnya sembari menatap wajah gadis mungil itu lekat-lekat.
                “ Ada!” jawab gadis itu.
                “ Apa?”
                “ Tapi, aku malu mengatakannya,” gadis itu terlihat malu.
                “ Ayolah, aku mau tahu.”
                “ Oke, tapi jangan tertawa ya?”
                “ Janji!”
                “ Aku ingin menjadi istrimu kelak,” gadis itu terlihat merona.
                “ Hah? Benarkah itu?”
                “ Ya, supaya aku bisa melihat laut setiap hari.”
                “ Kalau begitu, nanti setelah kita menikah, sekalian saja kita bangun rumah di tepi pantai biar tiap hari kamu bisa melihat laut. Gimana?” tawarnya saat itu.
                Gadis itu mengangguk-angguk senang.
                Senyumnya senantiasa muncul setiap kali ia mengingat percakapannya dengan gadis itu. Entah mengapa, dia ingin sekali memberikan kebahagiaan kepada gadis itu. Kebahagiaan yang dia tahu tidak pernah diperoleh gadis itu sepanjang hidupnya.
                Baiklah, bisiknya dalam hati. Dia akan kembali lagi kesana besok pagi. Dia akan menemui Pia-nya lagi. Dengan pemikiran tentang Pia, dia melangkah pulang.
                Hari nyaris tamat ketika dia tiba di rumah. Tak seperti biasanya, pintun rumahnya telah terbuka hingga dia tak perlu menggunakan kunci miliknya, tanda Mamanya telah pulang. Namun, begitu memasuki ruang tamu, ternyata mamanya tidak sendirian. Seorang laki-laki tampak tengah bertamu ditemani mamanya. Laki-laki itu langsung menatapnya begitu ia memasuki ruangan.
                “ Kamu yang namanya Rifki?” laki-laki itu bertanya.
                “ Ya,” jawabnya.
                “ Saya Abi, kakaknya Pia,” jelas laki-laki itu memperkenalkan dirinya.
Pia!! Jantungnya langsung berdetak kencang. “ Apa yang terjadi dengan Pia?” tanyanya tergesa.
                “ Dia tidak apa-apa. Hanya saja, saya berharap kkamu jangan pernah menemuinya lagi.”
                “ Kenapa?” tanyanya keheranan.
                “ Karena memang seharusnya begitu kan? Pia anak yang baik dan kamu,” laki-laki itu berhenti sejenak sembari menatapnya dengan pandangan menilai. “…kamu yaa..sedikit tak pantas untuk bergaul dengannya. Saya takut jika kamu berteman dengannya kamu akan membawa pengaruh yang tidak baik buatnya.”
                Dia hanya bisa ternganga, tak sanggup mengatakan apa-apa. Dia menoleh memandang mamanya. Wanita itu memandang kakaknya Pia makin lama semakin dingin. Ada otot berkedut di pelipisnya.
                “ Dan untuk kesepakatan kita, saya harap kalian senang menerima ini,” lanjut Abi sembari menyorongkan sebuah amplop yang kelihatannya sangat tebal.
                “ Saya tidak mengerti. Kenapa saya tidak boleh bergaul dengan Pia? Saya menyayanginya, jadi mustahil saya akan menyakitinya. Kenapa kami tidak boleh berteman?” tanyanya.
                “ Saya kira, maksud saya cukup jelas. Saya tidak mau adik saya bergaul dengan anak sepertimu. Dan ini sebagai imbalannya. Jangan khawatir. Jika kurang akan saya tambahkan. Sebutkan saja jumlahnya,” kata Abi.
                “ Saya jamin,” kali ini Mama angkat suara. “ Saya jamin, anak saya tidak akan pernah mengganggu adik anda lagi. Tapi, bawa kembali amplop itu. Kami tidak memerlukannya.”
                Sejenak laki-laki itu tercenung sejenak, kemudian sembari mengangkat bahu dia bangkit. Tanpa bersuara lagi, dia meninggalkan rumahnya.
                “ Jangan ganggu anak itu lagi!” ujar Mamanya ketika mereka hanya tinggal berdua.
                “ Tapi kenapa --?”  dia sudah mau membantah.
                “ Cukup Ki! Kamu pikir Mama kekurangan masalah, lantas kamu mau menambah masalah Mama? Kamu harusnya sadar dong, lihat siapa kamu? Mana pantas kamu berteman dengan gadis itu. Lupakan dia Nak,” kata Mamanya. Kemudian, Mamanya bangkit dan hendak melangkah keluar pintu.
                “ Mama mau kemana?” tanyanya.
                “ Terserah Mama mau kemana dong!!” jawab Mamanya ketus.
                “ Aku kan Cuma nanya Ma,” jawabnya pelan.
                Mamanya tertegun sejenak. Perlahan dia menijit-mijit kepalanya, kentara sekali wanita itu sedang dirundung banyak masalah.
                “ Maaf,” ujarnya setelah beberapa saat sunyi menggelayut.
                “ Mama nggak salah. Aku memang nakal,” jawabnya.
                Mamanya tersenyum tipis, kemudian melangkahi pintu tanpa kata. Dia mengawasi mamanya berlalu dengan pandangannya. Kini, dia merasa berada di suatu tempat yang asing seorang diri. Tidak ada seorangpun yang menemaninya, yang dapat diajaknya bicara. Seperi biasanya dan selalu saja seperti ini.
                                *                             *                             *                             *                             *

Di saat yang sama, di tempat yang berbeda..
                Di sebuah ruangan praktik dokter, tampak seorang laki-laki dewasa dan seorang lagi yang kelihatan lebih tua tengah menunduk kaku. Di depan mereka, duduk dibelakang meja kerjanya, Dokter Arman tak kalah lesunya. Seonggok kertas tergeletak merana di atas meja. Sepertinya, ketiga laki-laki tersebut tengah membicarakan sesuatu yang tidak begitu menyenangkan.
                “ Jadi, kira-kira berapa lama lagi dia bisa bertahan?” tanya laki-laki yang lebih tua kepada dokter.
                “ Enam bulan. Itupun bisa berkurang jika kondisinya tidak dijaga dengan baik,” tandas sang dokter.
                “ Apa tidak ada yang bisa kemi lakukan untuk bisa memperpanjang waktunya?” tanya laki-laki yang satunya lagi.
                “ Sayang sekali, tidak ada yang bisa kami lakukan dengan penyakit Pia. Hemofilia yang dideritanya adalah suatu penyakit yang sangat langka dan sejauh ini belum ditemukan obatnya. Apalagi, dalam kasus Pia, dia mewarisi penyakitnya dari ibunya. Jadi, tipis sekali peluangnya untuk sembuh. Hanya saja, kita bisa menjaganya supaya tidak sampai terluka dan mengeluarkan darah. Karena begitu terluka, darah yang keluar tidak dapat dihentikan, karena darahnya tidak dapat mengental,” jelas Dokter itu muram.
                “ Jadi, ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk memastikan Pia dijauhkan dari benda-benda berbahaya yang sekiranya dapat melukainya. Saya tahu, ini berat sekali buat anda berdua untuk mencerna kenyataan pahit ini. Tapi, ada satu hal lagi yang bisa anda lakukan. Berdoa. Kadangkala, pasrah bisa menjadi obat bagi penyakit yang paling parah sekalipun,” lanjut Dokter.
                Kedua laki-laki itu masih tertunduk kaku.

                                *                             *                             *                             *                             *

                Setelah kedatangan Abi ke rumahnya untuk melarangnya bertemu dengan Pia, beberapa hari sesudahnya dia selalu menyempatkan diri untuk sekedar lewat di depan rumah gadis itu. Tapi, dia tak pernah melihat sosok Pia di halaman. Sampai suatu ketika, dia kepergok bibi pengasuhnya Pia.
                “ Hei!! Ngapain kamu di situ? Ayo pergi sana!!” hardiknya galak.
                “ DASAR CEREWET! MEMANGNYA ITU RUMAHMU??” teriaknya tak mau kalah. Dia mengambil sebuah batu dari tanah kemudian…
                PRANG!!! Kacapun pecah.
                Dia melangkah ke arah pantai. Angin pantai yang sejuk menyambut kedatangannya. Seperti biasanya, dia selalu merasa damai setiap kali berada di pantai. Dia memandang berkeliling menyusuri pemandangan pantai. Pandangannya tertumbuk pada sepasang kekasih yang sedang asyik berciuman di antara bebatuan karang. Dia tersenyum mengejek. Dasar tak bermoral, ejeknya dalam hati. Memangnya tak ada tempat lain untuk melakukan hal semacam itu? Zaman sekarang, orang-orang semakin tak tahu malu. Kemudian, dia sengaja berdehem keras hingga pasangan tersebut kaget dan sadar akan keberadaannya. Keduanya menoleh dan memandangnya. Dan betapa kagetnya ia ketika menyadari kalau wanita yang sedang bersama laki-laki itu adalah ibunya sendiri. Apa yang sedang dilakukan mamanya di tempat seperti ini? Kerja? Ataukah mungkin, kerja hanyalah kamuflase yang diciptakan Mama?
                Dia beranjak pergi. Dia mendengar mamanya memanggil namanya. Tapi, dia sama sekali tak peduli. Kesakitan akan penghianatan yang dirasakannya sekarang terasa bagaikan benang-benang tipis yang mengiris setiap otot di hatinya.
                  Ki,” mamanya akhirnya bisa menyusulnya. Dia tetap tak peduli.
                “ Ki, dengerin mama Sayang,” kali ini mamanya menangis.
                “ Mama sudah bohong sama aku!” tuduhnya seraya berhenti melangkah.
                “ Ya, Mama salah. Tapi…”
                “ Selama ini aku pikir Mama kerja,” katanya memotong penjelasan mamanya.
                “ Ya, Mama kerja Nak. Tapi, kadang kala Mama juga butuh istirahat, mama butuh hiburan..”
                “ Tapi, kenapa harus bohong?” tuntutnya.
                “ Ki, Mama kesepian Nak.. Kesepian..” Selalu. Itu sudah diduganya.
                “ Mama sadar nggak, kalau selama ini aku juga kesepian?” tanyanya lemah. Air matanya merebak sudah. Mamanya mendongak menatapnya dengan mata yang basah.
                “ Padahal, bagiku Cuma Mama milikku yang tersisa. Mama selalu bilang, jangan manja, jangan bergantung. Aku selalu percaya sama Mama. Dan setiap saat, Mama selalu bilang kalau Mama kesepian, seolah Mama tidak punya siapa-siapa. Padahal Mama masih punya aku..” desisnya dengan suara tercekat terhambat air mata yang menderas.
                “ Aku terlalu sayang sama Mama, aku nggak mau Mama merasa terbebani. Karena itu, aku rela menahan kesepianku sampai-sampai ingin teriak rasanya. Aku sudah lupa,” ujarnya sembari merengkuh tangan mamanya erat. “ ..Aku sudah lupa akan tangan yang seharusnya uang menghangatkan ini. Sudah berapa lama sejak terakhir kali Mama memelukku?” lanjutnya parau.
                “ Ki..” mama mencoba memeluknya, namun dia mengelak.
                “ Tapi, coba lihat buah dari kerinduanku selama bertahun-tahun? Hanya penghianatan. Mungkin menurut Mama, sebaiknya aku tak pernah ada. Bertahun-tahun aku mencoba mengatasi ketakutanku sendiri, aku mencoba untuk mengejakan semuanya sendiri. Sementara Mama seolah telah melupakan keberadaanku. Padahal, seandainya saja Mama sadar, Mama nggak akan pernah merasa sendirian, karena aku akan selalu ada buat Mama,” dia berlalu dengan hati yang remuk.
                Dia berlari kencang sekali. padahal bagiku hanya Mama, batinnya. Padahal, hanya Mama satu milikku yang tersisa. Tapi milikku itu, yang sangat kupercayai itu, kini telah menghianatiku. Milikku itu, kini bukan milikku lagi.. mama bukan milikku lagi…

                                *                             *                             *                             *                             *

Dalam mimpinya, seseorang memanggil namanya…
                “ Pia…” suara itu terdengar jauh sekali.
                “ Pia…” sekali lagi suara itu memanggilnya. Dia membuka mata dan wajah pertama yang mengisi kekaburan pandangannya adalah wajah Rifki.
                “ KI!!” serunya senang. “ Eh, bagaimana kamu bisa masuk kamarku?” tanyanya keheranan.
                Rifki tersenyum kecil. “ Kamu lupa, dulu ini kan rumahku. Mudah sekali buatku untuk memasuki rumah ini.”
                “Aku kangen Ki..” ujarnya manja seraya memeluk badan Rifki.
                “ Aku juga,” Rifki balas memeluknya. “ Aku datang ke sini sekalian juga mau pamit.”
                “ Pamit??” tanyanya keheranan. “ Memangnya kamu mau kemana?”
                Rifki menunduk. “ Kamu gadis yang baik. Aku tak tahan jika pergi tanpa pamit terlebih dahuli kepadamu.” Kelu.
                “ Ki, apa yang terjadi? Kamu mau pergi kemana?” dia merasa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi.
                “ Satu-satunya milikku telah hilang. Ibu yang selama ini kupercayai, telah menghianatiku. Aku tak bisa percaya lagi pada siapapun,” kata Rifki semakin pelan.
                “ Ki, apa yang terjadi?” ulangnya gusar.
                “ Aku merasa tidak ada lagi yang mengerti aku,” ujar Rifki seraya menatap wajahnya. “ Dan ada baiknya kamu tidak berwajah seperti itu. Tidak terlalu penting kok. Lagipula, prosesnya tidak terlalu sulit,” lanjutnya seraya mengeluarkan sebuag pisau lipat dari dalam sakunya.
                “ Itu buat apa Ki?” tanyanya segera. Ngeri.
                “ Jika pergelangan tanganku ku potong dengan ini, aku akan mati bagaikan tidur, saking mudahnya,” ujar Rifki santai sembari hendak melukai pergelangan tangannya.
                Sigap Pia menahan tangan Rifki sekuat tenaga.
                “ Jangan Ki! Jangan berbuat bodoh!”
                “ Lepaskan Pia! Aku ingin mati!” tahan Rifki
                “ Jangan Ki!!”
                Pisau terlepas dari tangan Rifki dan berpindah ke tangan Pia. Hanya saja pergulatan memperebutkan pisau itu meninggalkan luka cukup panjang di lengan Pia. Darah merembes dari lengannta, membanjiri lengan piyamanya. Diapun ambruk.
                “ Pia, kamu kenapa? Itu hanya sebuah luka,” ujar Rifki panik.
                “ Kamu nggak boleh mati Ki, nggak boleh. Akan kuberikan diriku kepadamu, jangan katakan ingin mati. Hiduplah demi aku!!” ujar Pia terbata. Darah yang keluar semakin banyak.
                “ Pia..” Rifki tertegun menatap Pia yang semakin melemah.
                “ Percayalah, aku tidak akan pernah menghianatimu. Percayalah padaku! Aku milikmu Ki.”
                “ Tidak akan berhianat?” tanya Rifki.
                “ Ya!”
                “ Mau jadi milikku?”
                “ Ya!”
                “ Bisa kupercaya?”
                “ Kamu akan selalu bisa berbagi apapun dengan aku Ki,” kata Pia dengan suara lemah.
                Dia memeluk tubuh lemah itu. Pia, betapa hangatnya. Kehangatan ini yang selama bertahun-tahun begitu kurindukan.. kamu milikku Pia.. hanya milikku…
                “ Ki, aku ingin melihat laut,” bisik Pia lemah di telinganya. Rifki menatap wajah yang kian memucat itu. Dia tersenyum manis.
                “ Aku akan membawamu melihat laut. Sekarang,” katanya. Dia memapah Pia bangkit. Mereka tidak menyadari kalau mereka telah meninggalkan jejak. Tetesan darah Pia!
                Tidak lama kemudian, Abi memasuki kamar adiknya. Dia tercengang melihat kamar yang berantakan, terlebih ketika menyadari bahwa adiknya tidak berada di dalam kamar. Matanya nanar ketika melihat sebilah pisau dan ceceran darah yang memenuhi lantai dan menjejak ke arah jendela.
                “ PAPA!!!” panggilnya keras.
                Disaat yang sama, Rifki dan Pia sedang berusaha keras mencapai laut.
“ Ayo, sedikit lagi, Pia…”
                “ A…aku sudah nggak kuat lagi, Ki…”
                “ Pia, kamu harus kuat, sebentar lagi kita sampai ke laut. Ayo sedikit lagi…!”
                “ Aku capek, aku tidak bisa jalan lagi…”
                “ Tapi, sebentar lagi kta akan tiba di laut…”
                “ Ki…”
                “ Pia, ayo!!”
                Susah payah Pia berjalan. Setelah sekian lama, tibalah mereka di laut. Semburat merah merajai ufuk timur. Sudah hampir pagi.
                “ Pia, ini laut..”
                “ Ki, laut indah sekali..”
                “ Pia, laut ini milik kita. Ayo kita naik perahu yang disana itu. Aku akan mengajakmu berlayar..”
                “ Ki, aku sudah tidak sanggup lagi. Aku sudah tidah kuat lagi, kamu pergilah sendiri..”
                “ Apa yang kau katakan? Kamu milikku!! Kemanapun aku pergi, kamu harus ikut!”
                “ Tapi, aku sudah tidak kuat lagi Ki..”
                Perlahan mata Pia menutup. Darah yang merembes dari lengannya semakin banyak dan membuat pasir di sekelilingnya menjadi merah.
                “ Pia..” bisik Rifki di telinganya. Dia memaksa membuka matanya. Wajah Rifki terlihat sangat khawatir. Dia merasa sangat letih.
                “ Ki, aku capek..”
                “ Pia, kamu kenapa?”
                “ Ki, aku… letih…”
                Lantas gadis itu diam tak bergerak.
                “ Pia..” Rifki mengguncang-guncang tubuh Pia. “ Pia..” dia memanggilnya sekali lagi. Namun, Pia tak juga bergerak. Dari kejauhan terdengar suara-suara memanggil nama Pia, namun dia tak peduli. Dia tetap saja mengguncang-guncangkan tubuh Pia yang mulai mendingin.
                “ Pia, hanya kamu yang kupercayai saat ini, hanya kamu yang bisa kucintai. Jangan tinggalkan aku, Pia. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sendiri..” Tapi tetap saja, Pia tak juga bergerak. Rifki berlari kearah laut sambil berteriak tak terkendali.
                “ LAUUUUT!!! Jangan ambil milikku! Pia milikku.. kembalikan Pia kepadaku..! Kembalikan Pia lauuuuuuuuuuuut…….!!!”  Teriaknya sejadi-jadinya.
                Matahari telah terbit dengan sempurna……………………………

 For My Cupid Angel Fathan…
I Love You..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar